Kamis, 31 Maret 2011

Singgah di Pelabuhan Terakhir

Teruntuk: Tetehku Dian G Rahayu
Menjelang hari pernikahannya

Keindahan dunia membuaiku
dan tak memandang ke arahmu
Gelombang air laut yang terus membawa arus
tak menghanyutkan ke dalam deras arusmu

Ku terapung dalam sebuah perahu
yang tak tentu arah tujuan
Telusuri riak-riak kecil, gelombang maupun badai
tak membuatku pantang pulang

Dalam perjalanan ditemani kicauan burung-burung
seperti hendak menghibur
Langit biru selalu setia menemani
kemanapun hendak pergi

Angin semilir berhembus kencang
membawa ke suatu tempat
Dimana kau berada dalam nuansa bening
yang tak disangka merupakan pelabuhan terakhir


Tak ingin beranjak pergi kemanapun
dan ingin selalu singgah di pelabuhan terakhir
untuk selamanya


Arlin Widya Safitri
Bandung, 24 Maret 2011

Hidangan Tak Terlihat

Teruntuk: seorang ibu di Ponorogo, Jatim

Suara ayam berkokok selalu nyaring di telinga
Mengingatkan hari ini harus berpacu dengan waktu
Raga renta, dunia yang gelap tak menyurutkan tekad
Keringat kian deras menghujani tubuh
Tak menjadi soal, demi anak gadis tercinta

Membasuhi tubuh dengan percikan air
Mengadu resah pada Sang Pencipta
Masih adakah rezeqi di hari ini?
Semangat tak pernah padam
Tak menjadi soal, demi anak gadis tercinta

Pelukan manis dari yang tercinta
“Sayang Nak, dari lahir tak pernah tahu rupamu
hanya bisa meraba lekukan dan mencium bau tubuhmu”
Itu sudah cukup membuat semangat

Ibu pulang hari ini, Nak!
Membawa sesuatu yang mungkin tak cukup kau bagi
Pelan mulai menata hidangan
Semuanya untuk anak gadis tercinta
Bagiku wanginya sudah cukup membuat rasa lapar hilang





Arlin Widya Safitri
Bandung, 02 Maret 2011

Minggu, 30 Januari 2011

Alam Mengajarkanku Kehidupan

Untuk: sahabatku Sri Minaryanti

Pohon mengajarkanku tegap melawan tempaan angin maka aku setia berdiri tegap
Bunga mengajarkanku menyebarkan wewangian maka aku setia berada di taman
Matahari mengajarkanku menyinari maka aku setia menjadi penerang

Laut mengajarkanku badai maka aku setia berlayar
Gurun pasir mengajarkanku kucuran keringat maka aku setia berjalan diatasnya
Gunung mengajarkanku ketinggian maka aku setia berada di puncaknya

Burung mengajarkanku kicauan maka aku setia bernyanyi
Ikan mengajarkanku menyelami lautan maka aku setia berenang
Kuda mengajarkanku berlari kencang maka aku setia berlari

Pelangi mengajarkanku keindahan maka aku setia memandanginya
Bintang mengajarkanku kerlipannya maka aku setia bersinar
Bumi mengajarkanku berpijak maka aku setia hidup didalamnya


Arlin Widya Safitri
Bandung, 30 Januari 2011

Jumat, 14 Januari 2011

Senyum Januari

Mendung yang selalu menaungi diri
Setia menemani kemana pun pergi
Lambat laun mendung itu berseri
Berganti cahaya pagi

Takut masih sempat bersarang di dalam sanubari
Mungkin kali ini hanyalah mimpi
Tampak jelas di depan cahaya pagi menyinari
Ruang diri yang lembab kini mewangi

Wajah diri masih pucat pasi
Berdecak kagum tiada henti
Merdunya suara angin sungguh membuat ingin bernyanyi
Tak disadari tersungging senyum Januari






Arlin Widya Safitri
Bandung, 13 Januari 2011

Pedas Itu Cabai

Ada yang tahu rasa pedas itu apa?
Ada yang tahu harga ikut pedas?

Tak ada yang tahu meja makan kehilangan kawan
Kawan kecilnya yang mewarnai
Sedikit membuat keringat

Loh, kali ini harus puasa pedas
Kemana perginya pedas?

Ada yang tahu rasa pedas itu apa?
Ah, pedas itu cabai!





Arlin Widya Safitri
Bandung, 12 Januari 2011

Kamis, 06 Januari 2011

Klab Nulis Tobucil Mengajarkanku Menyelami Sastra

Awalnya aku bergabung di Klab ini karena mengisi kekosongan kegiatan yang sudah tidak sepadat sewaktu masih ada mata kuliah yang diambil. Mungkin bisa dikatakan sebuah pelarian dari kejenuhan mengerjakan skripsi. Tapi tenang aku masih punya semangat menggebu untuk menyelesaikan “skripsweet” ini (sebutan agar lebih manis dibanding skripsi yang kesannya serius). Justru aku bergabung Klab ini untuk menjaga “mood” menulis. Kalau “mood” menulis hilang berantakanlah skripsweet ku nanti.

Mungkin diantara teman-teman yang lain aku adalah salah satu yang jarang masuk kelas. Alasan aku jarang masuk kelas bukan karena tidak menyukai Klab ini. Kebetulan waktu itu bentrok dengan acara pernikahan sodara sepupuku di Bogor dan tawaran tiket liburan gratis dari kakakku. Untungnya, ada kabar rehat 1 minggu dari Mas Ophan. Aku tahu kabar itu dari Martina.

Pertama aku masuk kelas mungkin aku seperti orang yang tengah kebingungan. Mas Puji bilang, “Arlin kenapa diam saja? Sedang beradaptasi?”. Mungkin iya. Aku masih berusaha mempelajari karakter teman-teman semua. Mungkin juga aku setengah gugup karena latar belakangku adalah ilmu sejarah. Bukan orang yang mengerti sastra. Tapi aku senang dengan sambutan teman-teman yang seolah telah lama mengenalku. Seperti sebuah keluarga. Terutama Martina yang sedikit cerewet. Kalau di tokoh cerpenku yang Es Potong itu Martina itu mirip Leni. (Piss yah Marti… :P).

Keinginan mengejar ketertinggalan materi yang sudah diberikan sebelumnya aku dengan semangat mencatat semua materi dari catatan punya Martina. Tengkyu Martina… J) Kadang juga rebutan juga dengan Idhar. “Maaf yah jadi ga kebagian waktu buat nulis catatan dari Marti, Idhar”. Aku juga tertarik dengan pemikiran unik Sanggra tentang pandangannya terhadap orang lain. Menurut dia memandang orang lain itu dari titik kebodohan. Jadi intinya ketika orang lain itu merasa dirinya pintar sebenarnya dirinya itu dalam titik kebodohan. Mungkin Mas Puji masih ingat percakapannya dengan Sanggra waktu itu.

Pertama aku masuk yang ada waktu itu Martina, Bu Metha, Idhar, Nessa, Sanggra dan Irfan. Lumayan bertemu dengan banyak teman pikirku saat itu. Hari itu mulai ada tugas membuat progress report.

Kelas selanjutnya sepertinya aku terlambat karena kelas sudah di mulai. Disana tengah berlangsung pertanyaan cerpen yang telah dibuat. Kali ini Mas Ophan yang masuk. Materi yang dipelajari saat itu ada kaitannya antara sastra dan sejarah. Itu mungkin membuat sedikit aku lebih akrab dengan sastra. Sekali lagi aku bukan orang yang mengerti sastra dengan baik. Mas Ophan membahas soal filsuf Heidegger. Seperti yang ditanyakan Mas Ophan apa pernah pelajari ini sebelumnya. Mungkin iya, aku pernah baca sekilas. Heidegger itu dikenal tentang konsep “Ada” atau apa artinya bagi manusia untuk berada. Berkaitan dengan filsafat teknologi.

Kelas selanjutnya tambah teman baru lagi. Ada Ellis dan Dini. Suasana terasa lebih akrab. Saling menulis no hp dan akun facebook. Mulai aku cari nama teman-teman baruku di facebook. Disana mulai akrab dengan saling sapa di dunia maya. Mas Ophan sudah ada sebelumnya. Sekitar tahun 2007 – 2008 saya berniat ikut Klab nulis dan Madfal. Tapi entah kenapa selalu saja ada halangan. Hanya sempat ikut workshop penulisan feature dan artikel – Mas Farid Gaban di Tobucil saat itu. Mungkin hikmahnya bisa bertemu dengan teman-teman angkatan 8 ini.

Kelas berikutnya hanya ada aku dan Martina. Martina sempat sms “Arlene, gi dimana?gw sendirian nih d tobucil.. ;-(“. Padahal sebentar lagi juga aku sampai di Tobucil. Yang jadi mentor hari itu Mas Syarif. Aku baru tahu kalau dia orangnya islami sekali. Bahkan dia kenal dengan salah satu dosenku yang kini berada di Perancis, namanya Gani. Satu orang dosen yang hanya mau dipanggil nama saja. Lumayan seru pembahasan Mas Syarif. Terasa sedang berdiskusi dengan Gani.

Dapat kabar kalau hari Kamis ada simulasi karya. Sempat deg-degan juga. Tapi dibawa santai saja. Tiba waktunya hari simulasi itu. Semuanya berjalan lancar. Hari itu berubah menjadi semangat melihat Dini dan Bu Metha yang asik latihan baca puisi buat besok. Aku terpesona dengan puisi-puisi mereka. Kagum. Tambah betah dengan nyanyian dari Dini dan petikan gitarnya. Dini menunjukkan bakatnya yang luar biasa dalam hal sulap dan meramal. Salut buat Dini. Baru kali ini aku pulang paling akhir.

Keesokkan harinya tiba waktunya acara “perpisahan” bagi angkatan 8. Mungkin kata “perpisahan” hanya sebagai ungkapan saja. Seharusnya “permulaan” karena diharapkan selanjutnya akan ada pertemuan-pertemuan lagi. Aku harap seperti itu. Hari ini aku tidak bisa pulang paling akhir lagi. Karena sudah ada ultimatum dari nenekku supaya pulang jangan terlalu malam.

Seusai acara aku minta diramal oleh Dini. Dini tahu kalau aku ada masalah dengan nenekku padahal jelas aku belum pernah cerita hal itu. Dini juga tahu kalau aku telah ditinggal oleh anggota keluarga laki-laki. Semuanya benar. Akhirnya aku banyak cerita semua hal pada Dini. Tengkyu Dini…J

Padahal aku ingin menemani teman-teman yang lain untuk makan bareng seusai acara. Sayang aku tidak bisa untuk kali ini. Aku dan Idhar tidak bisa ikut untuk kali ini.

Sekali lagi tengkyu buat temen-temen dan para pengajar di Klab Nulis Tobucil. Kalian telah mengajarkanku tentang sastra. Selama ini aku hanya berkutat dengan tuntutan realitas dan fakta sejarah. Terkesan kaku dan monoton. Aku ingat ungkapan seorang tokoh yang aku lupa namanya. Orang itu bilang “Hidup jika hanya realita saja tanpa adanya fiksi atau imajinasi terasa monoton atau membosankan”. Kali ini aku mengerti makna dari ungkapan itu. Salam hangat buat Bu Metha, Elis, Dini, Martina, Idhar, Mas Puji, Mas Ophan dan Mas Syarif J

Penyuka es potong dan pengagum Soe Hok Gie,

Arlin.

Rabu, 22 Desember 2010

Nisan Putih

dari jauh mengunjungi tempatmu kini
sunyi dan sejuk
pantas dirimu betah tinggal disini

semakin ku dekatkan tubuh
di depan nisan putih
tempat tubuhmu terkujur kaku

ku letakkan bunga
agar dirimu dapat mencium wewangian
dalam tidurmu


Pangkal Pinang, 5 Desember 2010
(Terinspirasi melihat deretan makam di Pemakaman Cina Sentosa, Bangka)
Arlin Widya Safitri