Minggu, 28 Juni 2009

Potret Kemiskinan Warga Bandung - Part 2

Tepat di trotoar di tengah-tengah perempatan lampu merah, ada sekelompok tukang doger monyet. Tidak jauh dari posisi keluarga penabuh rebana itu. Berbeda dengan keluarga penabuh rebana, tukang doger monyet menyuguhkan hiburan yang dilakukan oleh tingkah laku sang monyet. Sebuah 'pertunjukkan kecil' di tengah sibuknya kendaraan berlalu lintas.

Sungguh menyesakkan melihat pemandangan seperti ini. Di suasana pagi hari kota Bandung. Di tengah-tengah megahnya kota Bandung ini. Ternyata masih tersisa kehidupan yang terpinggirkan seperti mereka.

Aku jadi teringat kata-kata mamahku, "dulu mamah ga hafal seluk-beluk daerah Bandung Selatan, soalnya dulu daerah Bandung Selatan masih kosong jiga daerah 'jin buang anak'." Iya, memang begitulah mamah, terlalu berlebihan dalam memberikan suatu istilah untuk mendeskripsikan sesuatu hal yang diceritakannya. Mungkin, aku berpikir daerah Bandung Selatan baru-baru ini pembangunannya diperhatikan oleh pemerintah daerah setempat. Karena sebagian besar para menak atau priyayi itu bermukim di daerah Bandung Utara, daerah atas. Aku ingat kata-kata mamahku lagi bahwa ada sebagian menak Bandung bermukim di Dayeuhkolot. Entahlah. Aku hanya mencoba membayangkan oleh keadaan Bandung tempo dulu dan sampai saat ini.

Saat ini di daerah Bandung Slatan telah diramaikan oleh pembangunan-pembangunan yang megah, perumahan-perumahan elite, pertokoan-pertokoan da sebagainya. Tetapi, disamping itu asih tersisa kehidupan yang terpinggirkan seperti keluarga penabuh rebana dan tukang doger monyet. Sampai masih tersisa peristiwa copet didalam angkot. Sangat ironis.

###

Angkot terus berjalan dan aku terus meratapi malangnya nasib-nasib mereka yang terpinggirkan. Aku terus memandang keadaan-keadaan di sekitar yang terlintasi oleh angkot ini. Ibu yang membawa ank kecil yang hendak transfer uang itu turun di depan bank Mandri buah batu. "Tipayun neng...", ibu itu berpamitan padaku. Aku hanya membalas dengan senyuman kecil.

Tidak terasa telah sampai di depan Universitas Langlangbuana, tempat pemberhentian angkot jurusan Ledeng, Aceh dan Dago. Aku turun disana dan naik angkot jurusan Aceh. Tiba di Aceh, aku turun dari angkot. Berjalan sedikit ke arah Tobucil.

Disana aku bertanya kepada penunggu Tobucil, "mbak, salamatahari di sebelah mana? terakhir kali saya lihat disini", aku mencoba menjelaskan. "Oh.. disini", mbak itu menunjukkan ke arah dus yang disimpan di salah satu rak. "Ternyata, sudah dipindahkan", dalam hatiku.

"Oh iya, mbak... mbak dea kapan ke Tobucilnya?", tanyaku singkat. "Hmmm... biasanya sih tiap hari Senin, soalnya kan up date blog, tapi besok juga hari Rabu kayaknya kesini deh... soalnya besok tuh kan ada Madrasah Falsafah jadi dia suka ikutan", mbak itu menerangkan padaku "Oh... gitu ya... kira-kira besok jam berapa?", tanyaku. "pagi-pagi lah... kenapa gitu? mau minta tanda tangan yah?", mbak itu bertanya. "Oh... iya...", jawabku singkat. Mungkin mbak itu benar. Tapi disamping itu aku ingin berkenalan dengan mbak Dea. Ingin belajar dari pengalamannya di bidang menulis. Itu maksudku.

Aku membeli buku salamatahari dan Gong edisi 106/X/2009. "Terima kasih ya mbak...", kataku. "iya sama-sama, coba aja besok kesini yah...", mbak itu sedikit menjelaskan padaku. "Oh... iya...", jawabku singkat. Aku melihat-lihat buku yang lainnya sebentar. Lalu pulang.

Dari Tobucil aku naik angkot jurusan kebon kalapa. Setelah itu aku naik angkot bh.batu. Di dalam perjalanan pulang itu, aku menikmati pemandangan kota Bandung yang terlintasi oleh angkot yang ku naiki. Dan pemandangan menyesakkan itu pun terlintasi lagi olehku. Mereka keluarga penabuh rebana dan tukang doger monyet masih terus berjuang mencri nafkah. Seperti tidak pernah lelah melakukannya.

Tidak lama kemudian aku tiba di rumah. Di rumah aku terdiam sejenak dan merenungi peristiwa-peristiwa yang terjadi tadi. Sungguh ironis memang. Setidaknya hari ini aku telah banyak menikmati pemandangan kota Bandung, mulai pemandangan yang indah sampai pemandangan yang menyesakkan. Itulah realitas yang terjadi di kota Bandung.

Bandung, 27 Juni 2009

Potret Kemiskinan Warga Bandung - Part 1

Sehari setelah datangnya kiriman uang bulanan yang dikirim via bank BNI dari tetehku di Jakarta, yang ada dalam pikiranku saat ini adalah membeli buku "salamatahari" - sundea. Selain judulnya yang "eye catching", penulisnya itu seorang alumni Sastra Indonesia Unpad, angkatan 2001. Mungkin merasa mempunyai hobi yang sama dalam hal menulis dan juga sama-sama merasakan jadi 'anak sastra Unpad', jadi tertarik untuk membeli buku itu. Merasa senasib dan sepenanggungan kali yah. Hahaha. Sebenarnya aku sudah pernah baca buku itu tahun 2006 atau 2007, entah di majalah atau di koran. Aku lupa tepatnya kapan aku pernah membaca selintas sinopsis buku mungil itu.

Terakhir kali aku lihat ada di salah satu rak buku di Tobucil. Saat itu, aku berniat ikut diskusi yang diadakan oleh Madrasah Falsafah setiap Rabu pk. 17.00 - 19.00 di Tobucil. Tapi, berhubung datangnya telat jadi aku hanya melihat-lihat buku, dalam hati "siapa tau ada yang bermanfaat". Padahal topik diskusinya seru, topiknya tentang "milik". Entah kenapa, aku tertarik melihat-lihat ke arah tempat "Gong - Majalah Seni Budaya" yang tersusun rapih sesuai nomor edisi terbit. Akhir-akhir ini aku sedang keranjingan tentang batik. "Mungkin itu pengaruh dari syndrome skripsi", pikirku. Pokoknya hal-hal yang berkaitan dengan batik, apa itu artikel yang membahas batik atau apapun itu mengenai batik, bisa dikatakan "all about batik".

Aku membaca Gong edisi 107/X/2009, disana ada satu artikel tentang "Batik Fraktal Jawa: Ketika Sains dan Tradisi saling Menginspirasi". Tanpa pikir panjang aku langsung tertarik membeli majalah itu. Tapi, sayang setelah selesai membayar Gong edisi 107/X/2009, disampingnya ada Gong edisi 106/X/2009 lebih detail membahas tentang batik Sampai di cover depan tertulis "Yang Menghamba Pada Titik". Padahal edisi 106/X/2009 yang dicari-cari. "Tapi sudahlah, ntar bulan depan kesini lagi", pikirku saat itu.

###

Kebetulan kemarin baru dapat kiriman uang bulanan, jadi cita-cita beli majalah Gong edisi 106/X/2009 kesampaian juga. Jadi, niat hari ini ke Tobucil untuk beli buku salamatahari dan majalah Gong edisi 106/X/2009 itu.

Berangkat kurang lebih jam 10 pagi naik angkot. Penumpang angkot itu hanya 3 orang, 1 orang duduk di depan (samping supir), 1 orang duduk di belakang dekat kaca mobil paling belakang dan aku. Tapi, tepatnya di daerah dekat kampus STT Telkom ada 4 orang laki-laki naik angkot ini. Ke-4 orang itu cukup menarik perhatianku karena memakai kalung yang sama, 2 orang membawa ransel, 2 orang lagi bertangan kosong. Pada waktu angkot ngetem, salah satu orang yang membawa ransel memberikan ransel yang dipegangnya ke salah satu orang yang bertangan kosong, tepat duduk dibelakang supir. Aku sedikit memperhatikan gerak-gerik mereka berempat.

Laki-laki yang duduk tepat dibelakang supir itu menerima ransel itu sambil menepuk-nepuk ransel itu, sampai terlihat bahwa ransel itu tidak ada isinya sama sekali. Kosong. Aku heran melihatnya. Aku sempat bertanya-tanya,"untuk apa bawa ransel kosong?", dalam hati. Terlintas pikiran negatif terhadap mereka berempat. "Nggak... nggak boleh berpikir negatif sama orang lain", aku menyadarkan diriku sendiri. Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan melihat handphone-ku.

Angkot itu berjalan. Tepat di depan Sekolah Dasar di daerah Cipagalo angkot itu berhenti, naiklah ibu-ibu 2 orang dengan 3 orang anak kecil. Aku pikir ke-2 ibu itu menjemput anaknya pulang sekolah. Seperti biasa keadaan ibu-ibu yang membawa anak kecil selalu repot, disamping menuntun anaknya juga membawa tas sekolah anaknya itu dan membawa kantong plastik, entah apa isinya.

Didalam angkot ini kedua ibu-ibu itu terus-terusan mengobrol. Suasana di angkot jadi ramai. Dan aku tetap fokus dengan handphone-ku.

Tiba-tiba saja suasana di dalam angkot menjadi hening dan sedikit aneh menurutku. Setelah salah satu dari ke-4 laki-laki itu yang duduk di sebelah kanan salah satu ibu-ibu itu sibuk membuka-buka kaca jenela angkot. Salah satu ibu-ibu itu bilang "aya naon sih ieu teh?", salah satu laki-laki itu berkata "aduh... panas...panas...". Ibu-ibu itu mengerutkan dahi. Aku merasa biasa saja, tidak terlalu panas berada di angkot itu. Kedua ibu2 itu menjadi terdiam sejenak. Aku tahu dari raut muka dan sikap ke2 ibu itu sedang menaruh curiga kepada laki-laki itu. Aku pun merasakan keheningan suasana diangkot yang secara tiba-tiba. Sebelum pasar kordon, ke2 ibu-ibu itu turun dari angkot. Spontan salah satu laki-laki yang sibuk membuka-buka kaca jendela itu dimarahi oleh salah satu rekannya dengan bahasa daerah yang tidakku mengerti. Yang jelas bukan bahasa daerah Jawa atau Sunda. Aku yakin bahasa daerah dari luar pulau Jawa, mungkin bahasa dari daerah Sumatera. Entahlah.

Disana aku merasa ngeri berada diangkot itu.Hanya aku perempuan didalam angkot itu. Tapi yang membuatku tenang masih ada 2 orang penumpang lainnya, 1 orang duduk di depan (samping supir), 1 orang lagi tepat didepanku. Aku hany bisa berdo'a saja mudah2an diberi keselamatan. Aku berharap untuk cepat-cepat turun dari angkot itu dan naik angkot biru jurusan bh.batu-kalapa.

Tidak lama kemudian aku gantiangkot,naik angkot jurusan bh.batu-kalapa. Angkot biru ini sedang ngetem, 5 menit kemudian ibu2 dari angkot biru lainnya pindah ke angkot biru yang aku naikiini. Sambil terengah-engah ibu2 itu bilang "ih... sieun ah.. aya copet diangkot itu mah,meuni ngaburudul opatan", dengan raut mukapanik sambil menuntun anak kecil. "Nah... dugaanku sama percis seperti kata2 ibu itu",pikirku dalam hati. Dengan kesaksian ibu2 tadi aku berani menceritakan ke ibu2 itu darimana mereka naik dan sikap mereka yang sudah mencurigakan sejak dari angkot sebelumnya. "muhun... eta meuni opatan kitu bari nyanyandak tas,teras calikna teh meuni padempet2, nu di pojokmah...", ibu itu mencoba menceritakan gerak-gerik mereka. "tapi,anu ka buah batu dua-an, 2 deui bade ka kiaracondong, da naek angkot karah ditu", ibu itu meneruskan ceritanya. "urang mana katingalina?", tanya supir angkot. "sanes urang dieu, jiga urang seberang katingalina mah", jawab ibu itu. "iya ibu... soalnya tadi saya dengar salah satu dari mereka bicara pakai bahasa daerah, bukan bahasa sunda", aku sedikit menjelaskan sedikit yang ku ketahui. "muhun...", ibu itu menjawab singkat. "mana ieu teh bade transfer ka bank, sok sieun wae dicandak artos nu bade ditransfer-keun, enggal2 we ngalih ka angkot ieu", ibu itu menceritakan alasan dia pindah ke angkot ini.

Sepanjang jalan aku berpikir, di kota Bandung yang indah ini masih ada saja peristiwa-peristiwa semacam ini. Di perempatan lampu merah bh.batu, dekat pomp bensin, ada sekelompok penabuh rebana. Aku melihat mereka sepertinya sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, menantu, cucu dan nenek. "Ya Allah... haruskah satu keluarga menjadi pengemis?", sedih melihat realitas yang aku saksikan ini. Mereka duduk dibawah pohon di pinggir jalan sambil menabuh rebana. Aku melihat para perempuannya memakai kerudung yang tampak tidak rapih, para laki-laki memakai kopiah. "Ya ampun... itu merusak citra Islam", pikirku dalam hati. Bukan maksudku menyalahkan mereka. Tapi dengan melihat mereka, orang jadi berpikir orang Islam itu pemalas dan mungkin ada yg berpikir bahwa Islam itu identik dengan kemiskinan. Sungguh hal itu membuatku terdiam dan terus berpikir. Terus terang aku sedih melihatnya. "Apa yg bs kuperbuat?", aku terus bertanya2 dalam hati. Sebuah keluarga penabuh rebana itu duduk di dekat jl parakan III, dekat rumah nenekku di jl parakan asri. Mrk sekeluarga terus menabuh rebana dg nyanyian2 Islami.

Bandung, 26 Juni 2009

Es Potong

Hari Rabu di semester genap ini selalu membuatku ragu-ragu untuk pergi ke kampus. Bisa dibilang hari yang menjemukan. Selalu dengan penuh ketidakpastian, penuh dengan tanda tanya apakah dosen akan masuk kelas hari ini? Tentu dengan jawaban yang tidak pernah pasti. Menunggu, menunggu dan menunggu. Itulah pekerjaanku dan teman-teman yang lain di hari Rabu. Bagaimana tidak menjemukan, hari Rabu hanya ada satu mata kuliah yang tidak pernah pasti.

Hari itu aku tiba di kampus kurang lebih jam 12.30. Padahal dari rumah sudah sengaja telat supaya terhindar dari aktivitas 'menunggu'. Tapi tetap saja aktivitas 'menunggu' itu jadi rutinitas di hari Rabu. Entah bagaimana menghindari aktivitas 'menunggu' itu. Sangat menjemukan.

Tepat di depan gedung C ada Putri, Leni, Helen sedang duduk-duduk. "Eh... ada arlin", kata Leni begitu melihat aku duduk diantara mereka bertiga. "Bawa makanan ga?", kata Leni, "iya, biasana bawa makanan", kata helen, "ga...", jawabku singkat. " yah... kirain bawa makanan, lagi pengen makanan ga ada makanan nih..." kata Leni yang terus nyerocos seakan tidak bisa berhenti bicara. Tapi inilah hiburan ditengah-tengah aktivitas yang menjemukan.

Ada Mitha disamping aku, lalu aku tanya-tanya soal photocopy-an mata kuliah hari ini untuk bahan UAS. "di semester genap ini mata kuliah yang 'teu pguh' salah satunya kuliah hari Rabu ini", komentar ku singkat. "iya... bener banget teh, gimana ntar UAS nya yah? bahannya darimana?", Mitha mengomentari kata-kataku tadi.

Mitha bawa kamus B.Belanda yang dipeganginya dari tadi. Otomatis kalau keliatan Leni pasti dikomentari. "kamusnya lebih bagus dari punya kita yah?, yang kita mah pada copot-copot", kata Leni dengan panjang lebar. Dari hanya sebuah kamus jadi panjang ceritanya sampai ke "Palasari", bla... bla... bla...

Tidak lama kemudian teman-teman yang lain, M.N, Derry, dkk bilang "udah ga ada dosen, tanda tangan aja", kata Derry. Seperti biasa aku selalu menunggu untuk yang terakhir. absensi diambil Ardy (2005), sewaktu Helen mau berdiri ambil absensi jadi duduk lagi untuk menunggu giliran. Setelah Helen, Leni, dan Putri selesai tanda tangan tiba giliran aku". "Yang terakhir tanda tangan simpen lagi ke tempatnya", kata Helen. Mitha mendapat giliran terakhir. Jadi, aku, Helen, Putri dan Leni ke gerbang bareng-bareng dengan naik 'angkot gratis'. Itulah realitas dari aktivitas 'mahasiswa', sangat sederhana sekali bukan?.

Tiba di gerbang depan, mata tajam Leni langsung melihat ke arah tukang 'es potong', "eh... ayo mo beli ga?", kata Leni menawarkan kita bertiga. Dengan spontan tanpa menjawab pertanyaan Leni, kita bertiga beli 'es potong'. "mmm... ", dalam hati ku berpikir seakan kembali ke masa sd dan smp. Jadi, teringat masa-masa itu. Masa-masa ketika merasa dunia ini terasa amat sangat indah, masa-masa penuh dengan kepolosan. Kita berempat sempat ketawa-ketawa kecil melihat 'es potong' ini. Mungkin dalam pikiran masing-masing terbayang kejadian-kejadian indah di masa-masa sd dan smp. Sampai aku nyeletuk " jadi kembali ke masa-masa sd dulu yah?".

Terlintas dalam pikiranku, 'kenapa selama beberapa tahun kuliah di kampus ini belum pernah melihat orang yang berjualan 'es potong' ini?. Entahlah. Mungkin mataku kurang jeli dibandingkan Leni. Ataukah memang tukang 'es potong' ini baru bangkit dari keterpurukannya akibat ditinggalkan oleh para konsumennya. Padahal, aku merindukan 'es potong' ini sejak mulai masuk SMA. Aku baru ingat sekarang, sejak mulai masuk SMA jarang sekali aku menemukan orang yang berjualan 'es potong'. Es potong bagai hilang ditelan bumi. Sejak saat itu, mulai marak orang berjualan 'ice cone' meniru es krim yang dijual oleh restoran cepat saji seperti Mc.D. misalnya. Masyarakat Indonesia merasa bangga dengan meniru gaya hidup ala barat. Mungkin itulah salah satu faktor penyebab menghilangnya 'es potong.

Aku berpikir kasihan sekali orang yang berjualan 'es potong' saat ini harus bersaing dengan perusahaan ice cream ternama dan memiliki modal usaha yang besar. Aku teringat salah satu temanku angk.2006 memilih "ice cream Ragusa" sebagai topik skripsinya. Ice cream Ragusa merupakan salah satu dari sederet nama perusahaan ice cream ternama di Indonesia. Itulah Indonesia, dalam hal ice cream saja amat sangat terlihat perbedaan status sosial masyarakat. Lama aku berpikir tentang hal ini.

Tiba-tiba ada teman Helen melintasi kita berempat. "lagi ngapain?", tanya teman Helen tersebut. "nih beli ini", kata Helen sambil menunjuk ke arah 'es potong'. "kayak anak kecil aja", komentar teman Helen. Aku heran dengan komentar seperti itu. Memangnya hanya 'anak kecil' saja yang boleh menikmati 'es potong' yang menggiurkan ini?. Entahlah... komentar yang absurd menurutku. Teman Helen itu tidak tahu dibalik 'es potong' ini ada keceriaan 'khas anak kecil' yang pernah terjadi masa lalu dan itu terulang kembali saat ini dibalik imajinasi ketiga temanku ini. Bukankah sebelum menjadi seorang 'mahasiswa' masing-masing diri kita itu pernah mengalami masa-masa kecil? masa-masa yang indah dan tidak akan terlupakan.

Masing-masing dari kami telah mendapatkan satu buah 'es potong'. Helen rasa cokelat, Leni rasa alpukat, aku dan Putri rasa strawberry dicampur ketan hitam. "mmm... yummy... yummy...", dalam hatiku. Kita berempat berjalan sampai depan gerbang. Kita berjalan dengan agak lambat sambil menikmati 'es potong' yang yummy ini.

Didepan gerbang Leni dan Helen pamitan ke aku dan Putri. "daaaggghhh.....", kata mereka berdua dengan serempak. "daaaggghhh....", aku dan Putri menjawabnya. Putri mengajak ku beli dvd-video di sebelah kanan gerbang Unpad. Memang sudah menjadi hobby Putri dengan hal-hal yang berhubungan dngan Jepang dan Korea. Putri dari segi fisiknya mirip orang Jepang dan Korea, apalagi kalau bukan matanya yang sipit. Putri dengan bersemangat mencari film2 yang dianggapnya seru dan menarik. Ditengah-tengah keasyikan Putri mencari film2 itu, aku melihat ada Jerry Yan di salah satu cover dvd-video. Aku jadi teringat kenangan masa lalu sewaktu terjangkit 'demam F4'. Lucu kalau diingat-ingat kembali akan hal itu. Mungkin diantara ke-3 dari kelompok F4 itu yang masih eksis main film hanya Jerry Yan. Tapi aku tidak tertarik untuk membeli karena Jerry Yan dari dulu bukan yang menjadi favoritku. Aku hanya melihat-lihat saja dan kembali berimajinasi mengingat masa-masa lalu sambil menikmati 'es potong' yang menggiurkan ini. Au terus mengingat-ingat kenangan di masa lalu sampai gigitan terakhir.

Aku hanya membeli satu buah dvd-video yang berjudul "Waltz with Bashir". aku tertarik membeli karena berdasarkan kisah nyata. Putri membeli 6 buah dvd-video. Semuanya film korea. Mungkin saat ini sedang booming 'all about Korea'. Sampai di semester genap ini ada mata kuliah bahasa Korea.

Dari sana kita berdua naik angkot dan turun di 'pangdam'. Tidak puas melihat-lihat di tempat yang tadi, Putri kembali mengajakku melihat-lihat dvd-video di sekitar 'pangdam'. Aku juga berniat untuk membeli satu buah lagi dan "into the wild' yang menjadi pilihanku. Aku belum sempat menonton film ini hanya selintas pernah membaca sinopsisnya di majalah. Akhirnya aku menemukan film yang aku inginkan.

Setelah selesai melihat-lihat film, didepan bertemu bu Tanti yang sedang mendorong sepeda motor. Aku menepuk bahu Putri, "Put... ada bu Tanti". "Ibu...", dengan spontan aku menyapa bu Tanti . Bu tanti hanya membalas dengan senyum kecil.

Sebelum naik bus Damri jurusan Elang, Putri membeli pisang karamel terlebih dahulu. Sambil menunggu, aku membeli air mineral. Setelah itu, aku dan Putri naik bus Damri jurusan Elang. Tidak disangka ada Yuni (2005) yang menyapa kita berdua.

Aku dan Putri duduk di bangku hampir paling belakang. Di dalam bus itu aku terus megingat-ingat kenangan indah di masa lalu. Masa kanak-kanak yang begitu polos dan tidak terlupakan. Aku berpikir, ternyata jarang sekali aku punya kesempatan seperti sekarang ini. Dimana satu hari untuk mengenang diri sendiri, bukan sejarah-sejarah orang lain. Ternyata hanya diri sendiri yang dapat membawa kembali ke sejarah diri kita sendiri.

Terima kasih Helen, Leni dan Putri membuat hari Rabu yang menjemukan menjadi hari yang menyenangkan. Tidak disangka hanya sebuah 'es potong' bisa menghiburku di tengah-tengah hari yang menjemukan dan membawa ku kembali ke masa lalu.

Bandung, 07 Juni 2009

Kartini Hari Ini

teringat ketika guruku mengajar
segala ilmu pengetahuan ia curahkan kepada murid-muridnya
segala daya upaya ia curahkan kepada murid-muridnya

ditengah kesibukannya
sebagai seorang hamba Tuhan
sebagai seorang isteri
sebagai seorang ibu
sebagai seorang abdi negara
ia selalu mencurahkan perhatian pada murid-muridnya

tanpa mengenal lelah
tanpa mengenal waktu
ia selalu mencurahkan perhatian pada murid-muridnya

akankah murid-muridnya mengerti perjuangannya
akankah murid-muridnya mengerti pengorbanannya

sedikit saja yang dapat dilakukan
menghargai perjuangannya
menghargai pengorbanannya
dengan menyimak materi pelajaran yang ia berikan

Bandung, 21 April 2009

Arlin Widya Safitri

Menelusuri jejak-jejak

menelusuri jejak-jejak...
kadang membuat aku lelah
namun terkadang membuat aku semangat

menelusuri jejak-jejak...
untuk menemukan sesuatu membutuhkan persiapan
untuk menemukan sesuatu membutuhkan perjuangan
untuk menemukan sesuatu membutuhkan pengorbanan

menelusuri jejak-jejak...
setelah mengetahui sedikit demi sedikit
seakan-akan membuka suatu harapan
namun terkadang harapan itu hilang oleh ketidaksempurnaan

menelusuri jejak-jejak...
akankah ku terus berjalan
atau ku harus berhenti

Tuhan...
bantulah hamba-Mu ini dalam sebuah penelusuran jejak-jejak ini

Bandung, 21 April 2009

Arlin Widya Safitri