Minggu, 28 Juni 2009

Potret Kemiskinan Warga Bandung - Part 1

Sehari setelah datangnya kiriman uang bulanan yang dikirim via bank BNI dari tetehku di Jakarta, yang ada dalam pikiranku saat ini adalah membeli buku "salamatahari" - sundea. Selain judulnya yang "eye catching", penulisnya itu seorang alumni Sastra Indonesia Unpad, angkatan 2001. Mungkin merasa mempunyai hobi yang sama dalam hal menulis dan juga sama-sama merasakan jadi 'anak sastra Unpad', jadi tertarik untuk membeli buku itu. Merasa senasib dan sepenanggungan kali yah. Hahaha. Sebenarnya aku sudah pernah baca buku itu tahun 2006 atau 2007, entah di majalah atau di koran. Aku lupa tepatnya kapan aku pernah membaca selintas sinopsis buku mungil itu.

Terakhir kali aku lihat ada di salah satu rak buku di Tobucil. Saat itu, aku berniat ikut diskusi yang diadakan oleh Madrasah Falsafah setiap Rabu pk. 17.00 - 19.00 di Tobucil. Tapi, berhubung datangnya telat jadi aku hanya melihat-lihat buku, dalam hati "siapa tau ada yang bermanfaat". Padahal topik diskusinya seru, topiknya tentang "milik". Entah kenapa, aku tertarik melihat-lihat ke arah tempat "Gong - Majalah Seni Budaya" yang tersusun rapih sesuai nomor edisi terbit. Akhir-akhir ini aku sedang keranjingan tentang batik. "Mungkin itu pengaruh dari syndrome skripsi", pikirku. Pokoknya hal-hal yang berkaitan dengan batik, apa itu artikel yang membahas batik atau apapun itu mengenai batik, bisa dikatakan "all about batik".

Aku membaca Gong edisi 107/X/2009, disana ada satu artikel tentang "Batik Fraktal Jawa: Ketika Sains dan Tradisi saling Menginspirasi". Tanpa pikir panjang aku langsung tertarik membeli majalah itu. Tapi, sayang setelah selesai membayar Gong edisi 107/X/2009, disampingnya ada Gong edisi 106/X/2009 lebih detail membahas tentang batik Sampai di cover depan tertulis "Yang Menghamba Pada Titik". Padahal edisi 106/X/2009 yang dicari-cari. "Tapi sudahlah, ntar bulan depan kesini lagi", pikirku saat itu.

###

Kebetulan kemarin baru dapat kiriman uang bulanan, jadi cita-cita beli majalah Gong edisi 106/X/2009 kesampaian juga. Jadi, niat hari ini ke Tobucil untuk beli buku salamatahari dan majalah Gong edisi 106/X/2009 itu.

Berangkat kurang lebih jam 10 pagi naik angkot. Penumpang angkot itu hanya 3 orang, 1 orang duduk di depan (samping supir), 1 orang duduk di belakang dekat kaca mobil paling belakang dan aku. Tapi, tepatnya di daerah dekat kampus STT Telkom ada 4 orang laki-laki naik angkot ini. Ke-4 orang itu cukup menarik perhatianku karena memakai kalung yang sama, 2 orang membawa ransel, 2 orang lagi bertangan kosong. Pada waktu angkot ngetem, salah satu orang yang membawa ransel memberikan ransel yang dipegangnya ke salah satu orang yang bertangan kosong, tepat duduk dibelakang supir. Aku sedikit memperhatikan gerak-gerik mereka berempat.

Laki-laki yang duduk tepat dibelakang supir itu menerima ransel itu sambil menepuk-nepuk ransel itu, sampai terlihat bahwa ransel itu tidak ada isinya sama sekali. Kosong. Aku heran melihatnya. Aku sempat bertanya-tanya,"untuk apa bawa ransel kosong?", dalam hati. Terlintas pikiran negatif terhadap mereka berempat. "Nggak... nggak boleh berpikir negatif sama orang lain", aku menyadarkan diriku sendiri. Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan melihat handphone-ku.

Angkot itu berjalan. Tepat di depan Sekolah Dasar di daerah Cipagalo angkot itu berhenti, naiklah ibu-ibu 2 orang dengan 3 orang anak kecil. Aku pikir ke-2 ibu itu menjemput anaknya pulang sekolah. Seperti biasa keadaan ibu-ibu yang membawa anak kecil selalu repot, disamping menuntun anaknya juga membawa tas sekolah anaknya itu dan membawa kantong plastik, entah apa isinya.

Didalam angkot ini kedua ibu-ibu itu terus-terusan mengobrol. Suasana di angkot jadi ramai. Dan aku tetap fokus dengan handphone-ku.

Tiba-tiba saja suasana di dalam angkot menjadi hening dan sedikit aneh menurutku. Setelah salah satu dari ke-4 laki-laki itu yang duduk di sebelah kanan salah satu ibu-ibu itu sibuk membuka-buka kaca jenela angkot. Salah satu ibu-ibu itu bilang "aya naon sih ieu teh?", salah satu laki-laki itu berkata "aduh... panas...panas...". Ibu-ibu itu mengerutkan dahi. Aku merasa biasa saja, tidak terlalu panas berada di angkot itu. Kedua ibu2 itu menjadi terdiam sejenak. Aku tahu dari raut muka dan sikap ke2 ibu itu sedang menaruh curiga kepada laki-laki itu. Aku pun merasakan keheningan suasana diangkot yang secara tiba-tiba. Sebelum pasar kordon, ke2 ibu-ibu itu turun dari angkot. Spontan salah satu laki-laki yang sibuk membuka-buka kaca jendela itu dimarahi oleh salah satu rekannya dengan bahasa daerah yang tidakku mengerti. Yang jelas bukan bahasa daerah Jawa atau Sunda. Aku yakin bahasa daerah dari luar pulau Jawa, mungkin bahasa dari daerah Sumatera. Entahlah.

Disana aku merasa ngeri berada diangkot itu.Hanya aku perempuan didalam angkot itu. Tapi yang membuatku tenang masih ada 2 orang penumpang lainnya, 1 orang duduk di depan (samping supir), 1 orang lagi tepat didepanku. Aku hany bisa berdo'a saja mudah2an diberi keselamatan. Aku berharap untuk cepat-cepat turun dari angkot itu dan naik angkot biru jurusan bh.batu-kalapa.

Tidak lama kemudian aku gantiangkot,naik angkot jurusan bh.batu-kalapa. Angkot biru ini sedang ngetem, 5 menit kemudian ibu2 dari angkot biru lainnya pindah ke angkot biru yang aku naikiini. Sambil terengah-engah ibu2 itu bilang "ih... sieun ah.. aya copet diangkot itu mah,meuni ngaburudul opatan", dengan raut mukapanik sambil menuntun anak kecil. "Nah... dugaanku sama percis seperti kata2 ibu itu",pikirku dalam hati. Dengan kesaksian ibu2 tadi aku berani menceritakan ke ibu2 itu darimana mereka naik dan sikap mereka yang sudah mencurigakan sejak dari angkot sebelumnya. "muhun... eta meuni opatan kitu bari nyanyandak tas,teras calikna teh meuni padempet2, nu di pojokmah...", ibu itu mencoba menceritakan gerak-gerik mereka. "tapi,anu ka buah batu dua-an, 2 deui bade ka kiaracondong, da naek angkot karah ditu", ibu itu meneruskan ceritanya. "urang mana katingalina?", tanya supir angkot. "sanes urang dieu, jiga urang seberang katingalina mah", jawab ibu itu. "iya ibu... soalnya tadi saya dengar salah satu dari mereka bicara pakai bahasa daerah, bukan bahasa sunda", aku sedikit menjelaskan sedikit yang ku ketahui. "muhun...", ibu itu menjawab singkat. "mana ieu teh bade transfer ka bank, sok sieun wae dicandak artos nu bade ditransfer-keun, enggal2 we ngalih ka angkot ieu", ibu itu menceritakan alasan dia pindah ke angkot ini.

Sepanjang jalan aku berpikir, di kota Bandung yang indah ini masih ada saja peristiwa-peristiwa semacam ini. Di perempatan lampu merah bh.batu, dekat pomp bensin, ada sekelompok penabuh rebana. Aku melihat mereka sepertinya sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, menantu, cucu dan nenek. "Ya Allah... haruskah satu keluarga menjadi pengemis?", sedih melihat realitas yang aku saksikan ini. Mereka duduk dibawah pohon di pinggir jalan sambil menabuh rebana. Aku melihat para perempuannya memakai kerudung yang tampak tidak rapih, para laki-laki memakai kopiah. "Ya ampun... itu merusak citra Islam", pikirku dalam hati. Bukan maksudku menyalahkan mereka. Tapi dengan melihat mereka, orang jadi berpikir orang Islam itu pemalas dan mungkin ada yg berpikir bahwa Islam itu identik dengan kemiskinan. Sungguh hal itu membuatku terdiam dan terus berpikir. Terus terang aku sedih melihatnya. "Apa yg bs kuperbuat?", aku terus bertanya2 dalam hati. Sebuah keluarga penabuh rebana itu duduk di dekat jl parakan III, dekat rumah nenekku di jl parakan asri. Mrk sekeluarga terus menabuh rebana dg nyanyian2 Islami.

Bandung, 26 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar