Minggu, 28 Juni 2009

Potret Kemiskinan Warga Bandung - Part 2

Tepat di trotoar di tengah-tengah perempatan lampu merah, ada sekelompok tukang doger monyet. Tidak jauh dari posisi keluarga penabuh rebana itu. Berbeda dengan keluarga penabuh rebana, tukang doger monyet menyuguhkan hiburan yang dilakukan oleh tingkah laku sang monyet. Sebuah 'pertunjukkan kecil' di tengah sibuknya kendaraan berlalu lintas.

Sungguh menyesakkan melihat pemandangan seperti ini. Di suasana pagi hari kota Bandung. Di tengah-tengah megahnya kota Bandung ini. Ternyata masih tersisa kehidupan yang terpinggirkan seperti mereka.

Aku jadi teringat kata-kata mamahku, "dulu mamah ga hafal seluk-beluk daerah Bandung Selatan, soalnya dulu daerah Bandung Selatan masih kosong jiga daerah 'jin buang anak'." Iya, memang begitulah mamah, terlalu berlebihan dalam memberikan suatu istilah untuk mendeskripsikan sesuatu hal yang diceritakannya. Mungkin, aku berpikir daerah Bandung Selatan baru-baru ini pembangunannya diperhatikan oleh pemerintah daerah setempat. Karena sebagian besar para menak atau priyayi itu bermukim di daerah Bandung Utara, daerah atas. Aku ingat kata-kata mamahku lagi bahwa ada sebagian menak Bandung bermukim di Dayeuhkolot. Entahlah. Aku hanya mencoba membayangkan oleh keadaan Bandung tempo dulu dan sampai saat ini.

Saat ini di daerah Bandung Slatan telah diramaikan oleh pembangunan-pembangunan yang megah, perumahan-perumahan elite, pertokoan-pertokoan da sebagainya. Tetapi, disamping itu asih tersisa kehidupan yang terpinggirkan seperti keluarga penabuh rebana dan tukang doger monyet. Sampai masih tersisa peristiwa copet didalam angkot. Sangat ironis.

###

Angkot terus berjalan dan aku terus meratapi malangnya nasib-nasib mereka yang terpinggirkan. Aku terus memandang keadaan-keadaan di sekitar yang terlintasi oleh angkot ini. Ibu yang membawa ank kecil yang hendak transfer uang itu turun di depan bank Mandri buah batu. "Tipayun neng...", ibu itu berpamitan padaku. Aku hanya membalas dengan senyuman kecil.

Tidak terasa telah sampai di depan Universitas Langlangbuana, tempat pemberhentian angkot jurusan Ledeng, Aceh dan Dago. Aku turun disana dan naik angkot jurusan Aceh. Tiba di Aceh, aku turun dari angkot. Berjalan sedikit ke arah Tobucil.

Disana aku bertanya kepada penunggu Tobucil, "mbak, salamatahari di sebelah mana? terakhir kali saya lihat disini", aku mencoba menjelaskan. "Oh.. disini", mbak itu menunjukkan ke arah dus yang disimpan di salah satu rak. "Ternyata, sudah dipindahkan", dalam hatiku.

"Oh iya, mbak... mbak dea kapan ke Tobucilnya?", tanyaku singkat. "Hmmm... biasanya sih tiap hari Senin, soalnya kan up date blog, tapi besok juga hari Rabu kayaknya kesini deh... soalnya besok tuh kan ada Madrasah Falsafah jadi dia suka ikutan", mbak itu menerangkan padaku "Oh... gitu ya... kira-kira besok jam berapa?", tanyaku. "pagi-pagi lah... kenapa gitu? mau minta tanda tangan yah?", mbak itu bertanya. "Oh... iya...", jawabku singkat. Mungkin mbak itu benar. Tapi disamping itu aku ingin berkenalan dengan mbak Dea. Ingin belajar dari pengalamannya di bidang menulis. Itu maksudku.

Aku membeli buku salamatahari dan Gong edisi 106/X/2009. "Terima kasih ya mbak...", kataku. "iya sama-sama, coba aja besok kesini yah...", mbak itu sedikit menjelaskan padaku. "Oh... iya...", jawabku singkat. Aku melihat-lihat buku yang lainnya sebentar. Lalu pulang.

Dari Tobucil aku naik angkot jurusan kebon kalapa. Setelah itu aku naik angkot bh.batu. Di dalam perjalanan pulang itu, aku menikmati pemandangan kota Bandung yang terlintasi oleh angkot yang ku naiki. Dan pemandangan menyesakkan itu pun terlintasi lagi olehku. Mereka keluarga penabuh rebana dan tukang doger monyet masih terus berjuang mencri nafkah. Seperti tidak pernah lelah melakukannya.

Tidak lama kemudian aku tiba di rumah. Di rumah aku terdiam sejenak dan merenungi peristiwa-peristiwa yang terjadi tadi. Sungguh ironis memang. Setidaknya hari ini aku telah banyak menikmati pemandangan kota Bandung, mulai pemandangan yang indah sampai pemandangan yang menyesakkan. Itulah realitas yang terjadi di kota Bandung.

Bandung, 27 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar