Sabtu, 26 September 2009

Resensi Buku Jermal

Judul Buku : Jermal
Penulis : Yokie Adityo
Penerbit : PT Bentang Pustaka
Cetakan : Pertama, Agustus 2009
Tebal : vi + 142 hlm;20,5 cm

Jaya, seorang bocah berumur 12 Tahun, mempunyai harapan bekerja di Jermal. Sebelum ibunya wafat sempat memberitahu Jaya agar bertemu bapaknya di Jermal. Jermal serupa dengan ajungan minyak lepas pantai mini, terdiri dari balok dan papan kayu yang diikat jadi satu. Sebuah gubuk terbuat dari seng-seng tua diatasnya. Jermal adalah tempat penjaringan ikan ditengah laut.

Jaya, bocah itu, diantar oleh seorang pembawa surat untuk menemui Bandi si bisu. Bandi adalah seorang juru masak sebuah Jermal. Setiap beberapa minggu sekali ia turun ke darat, mencari barang-barang kebutuhan sehari-hari untuk dibawa ke Jermal. Banyak yang kemudian menitipkan anak untuk diikutsertakan ke Jermal. Mereka adalah anak-anak di bawah umur untuk dipekerjakan.

Jaya bukan tipikal anak yang mengandalkan otot. Ia seorang anak biasa yang masih mengandalkan orang tua. Namun, Jaya harus tetap bertahan bekerja di Jermal. Jaya mulai menyadari risiko yang mengancam: kekerasan, pelecehan, dan yang terburuk, kehilangan nyawa!.

Di Jermal, Jaya beserta anak-anak lainnya bekerja keras. Upah mereka nantinya berkisar Rp 250.000,00 sebulan. Berita perihal mereka sesekali diangkat dalam artikel di koran-koran lkal, tetapi tidak ada yang peduli. Anak-anak di bawah umur terus diperas tangannya. Jermal, tempat anak-anak bekerja siang dan malam.

Sejak rezim Soeharto, pekerjaan para relawan LSM bertambah mudah. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak melarang adanya pekerja di bawah umur. Pihak yang berwenang, seperti kepolisian dan Angkatan Laut, mulai memberikan dukungan pada usaha mereka memotong jalur mempekerjakan anak di bawah umur, utamanya di Jermal.

Sebuah LSM yang secara teratur mengunjungi tiap Jermal untuk melihat, merazia, apakah ada anak di bawah umur yang dipekerjakan. Jika ada, mereka rela bersusah payah melacak anggota keluarga sang anak di daratan dan mengantarnya pulang atau sebaliknya salah satu anggota keluarga akan diajaknya mengunjungi jermal, menjemput si anak untuk kembali ke rumah. Sering keluarga anak-anak itu tidak mengetahui kondisi di jermal sebenarnya dan terkejut saat diberi tahu ataupun saat datang melihat langsung.

Kehidupan di Jermal sangat keas. Tidak ada jam untuk bermain sepakbola. Yang ada hanyalah jam-jam menarik jaring berisi ikan. Para bocah dibayar agar siaga 24 jam. Tepat tengah malam pun, mereka bangun bekerja. Mereka diperbolehkan turun ke darat tiap tiga bulan sekali. Sedangkan, tauke-tauke itu akan datang tiap dua minggu sekali. Pada saat itu, mereka akan mengambil ikan hasil tangkapan para pekerja cilik sambil mengantar barang-barang kebutuhan sehari-hari. Sering kali mereka juga membawa anak baru untuk dipekerjakan.

Jangan pernah bicara soal makan. Menu makan tiap hari tidak akan pernah diganti. Sebagai pencari ikan, sudah jelas ikanlah yang akan mereka santap tiap jam makan, ditambah satu sayur yang tahan lama seperti kol atau wortel. Jangan juga bicara soal mandi. Ditengah laut, air tawar yang terbatas diutamakan untuk minum, dan minum.

Setiap kali razia dilakukan anak-anak itu selalu bersembunyi. Bandi memasuki kamar dengan seorang polisi dan seorang anggota LSM. Mereka melihat sekeliling kamar yang tidak berpenghuni. Hanya suara jangkrik yang terdengar.

Bagaimana Jaya dapat bertahan hidup dalam situasi keras di Jermal? Jaya, terlalu lemah dan cengeng sehingga ia harus melewati masa-masa ospek terus menerus. Bahkan selamanya. Anak seperti itu akan menjadi kacung bagi anak-anak lainnya. Menjadi bulan-bulanan dan diinjak-injak martabatnya. Apakah Jaya dapat mewujudkan harapannya bertemu dengan bapaknya? Harapan yang begitu besar hingga mengalahkan ketakutannya.

Membaca novel "Jermal" ini membuat pembaca mengetahui isu-isu penting seperti kemiskinan dan pekerja di bawah umur. Novel "Jermal" ini memberikan gambaran tentang betapa kerasnya kehidupan di Jermal. Selain itu, memberikan informasi akan adanya ketertindasan anak-anak di Jermal.


Arlin Widya Safitri, tinggal di Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar