Rabu, 28 Oktober 2009

Memperingati Sumpah Pemuda di Kampus

Setengah kesel juga hari ini ke kampus tapi ngga ada dosen. Selidik punya selidik ternyata dosen yang ngajar hari ini jadi pembicara di acara Bedah Buku "Api Sejarah" - Mansur. Ternyata pengorbanan ke kampus hari ini ngga sia-sia. Sampai nginep di kosan Yantie demi kuliah hari ini. Soalnya minggu kemaren ngga ke kampus soalnya mamah lagi ke Bogor sama Bi Lisna.

Jam 10 pagi aku, Mawar dan Mitha menuju gedung PSBJ. Acara dimulai dengan sambutan dari PD III (Pak Budhiana). Acara "kawih sunda". Diserahkan ke moderator (Pak Awalludin). Pembicara pertama Pak Reiza D. Dienaputra. Pak Reiza membicarakan tentang visualisasi sejarah. Ada benarnya juga, mahasiswa sejarah terlalu akrab dengan tulisan tapi disuguhi sebuah visualisasi mereka kebingungan. Misalnya, seperti foto2 tokoh sejarah saja banyak yang tak mengenali siapa orang tersebut. Ironis sekali bukan?
Pak Reiza juga menjelaskan tentang simbol-simbol dalam sejarah. Contoh kecilnya saja simbol-simbl tersebut banyak dipakai oleh parpol saat ini.

Kemudian dilanjutkan oleh Pak Asvi Warman Adam. Pak Asvi banyak membicarakan soal pujian dan kritik terhadap buku tersebut. Kritik yang paling pedas adalah kata2 Pak Asvi tentang agama itu tidak relevan dijadikan sebagai sumber, agama tidak bisa diperdebatkan. Jelas-jelas Pak Asvi mengatakan bahwa dia bertentangan dengan Pak Mansur. Pak Mansur - kanan dan Pak Asvi - kiri. Sehingga Pak Asvi menjelaskan tentang adanya bahaya ekstrem kanan : Museum Waspada Purba Wiwesa (Jakarta), Woyla, Talangsari, Lampung dan Tanjung Priok.

Tiba giliran Pak Mansur berbicara. Benar apa yang diatakan Pak Asvi ternyata pembicaraan Pak Mansur kental dengan Islam. Beliau menjelaskan bahwa warna merah putih itu berasal dari Islam. Merah itu kental dengan Islam. Keliru apabila hijau dijadikan simbol Islam. Makanya tak heran parpol2 Islam yang simbolnya berwarna hijau selalu kalah. Atap Ka'bah itu Merah dan dasarnya putih. Kemudian beliau menyindir hadirin yang memakai pakaian berwarna hijau. Pada yang bepakaian hijau maka kembalilah ke Islam. Itu kena banget, pas banget yang pake baju hijau di belakang. Mudah-mudahan jadi insyaf. Amiin. Kok mikirin orang itu yah? Terserah dia aja kali yah. Beliau juga sangat mengagungkan wanita.

Bermakna banget hari ini. Sayangnya ada yang ngga dateng. Berhubung mamah ke Jatinangor. Ketemuan di depan gerbang depan. Trus aku ke Batu Api mo pinjem buku buat bahan tugas kuliah. Pulangnya aku ngelihat dia. Kenapa dia ngga hadir di acara tadi? Apa dia tahu itu pemikiran "seorang kanan" dan dia kan "seorang kiri". Apapun itu aku tetap kagum kok.

Sabtu, 24 Oktober 2009

Dengan Kasih Sayang

Dengan kasih sayang
kita simpan bedil dan kelewang.
Punahlah gairah pada darah.

Jangan!
Jangan dibunuh para lintah darat
ciumlah mesra anak jadah tak berayah
dan sumbatkan jarimu pada mulut peletupan
kerna darah para bajak dan perompak
akan mudah mendidih oleh pelor.
Mereka bukan tapir atau badak
hatinya pun berurusan cinta kasih
seperti jendela terbuka bagi angin sejuk!

Kita yang sering kehabisan cinta untuk mereka
cuma membenci yang nampak rompak.
Hati tak bisa berpelukan dengan hati mereka.
Terlampau terbatas pada lahiriah masing pihak.
Lahiriah yang terlalu banyak meminta!

Terhadap sajak yang paling utopis
bacalah dengan senyuman yang sabar.
Jangan d benci kaum pembunuh.
Jangan biarkan anak bayi mati sendiri.
Kere-kere jangan mengemis lagi.
Dan terhadap penjahat yang paling laknat
pandanglah dari hati jendela hati yang bersih.


(Empat Kumpulan Sajak, 1961)
W.S. Rendra

Senin, 19 Oktober 2009

Do'a Untuk Bapak

Aku mungkin bukan orang pertama
yang mengucapkan do'a untukmu Bapak.
Disampingmu seorang isteri setia
menemani hari-harimu Bapak.

Di hari ini aku berdo'a untukmu Bapak.
Ya Allah SWT!
Berilah kesehatan lahir dan bathin untuk Bapak.
Berilah ampunan-Mu untuk Bapak.
Berilah kemudahan di dunia dan di akhirat untuk Bapak.
Lindungilah Bapak dimanapun ia berada.
Jauhkanlah Bapak dari malapetaka dan marabahaya.
Sayangilah Bapak seperti
ia menyayangiku di waktu kecil.

Amiin Yaa Robbal 'Alamin.

Jatinangor, 19 Oktober 2009

Sabtu, 17 Oktober 2009

Rumah Impian

Pernahkah terlintas memiliki rumah impian?
Rumah impian ruang melepas lelah
Rumah impian ruang berteduh
Rumah impian ruang berimajinasi

Tanpa ada satu pun yang berani mengusik
Dengan lantang aku berucap "Rumah impian ini milikku!"

Rumah impian tak perlu kemewahan
Tengoklah rumah impian seorang penyair Rahardi
Rumah impian nan indah
Rumah impian nan bersahaja
Rumah impian nan selaras dengan alam


Bandung, 11 Oktober 2009

Keluarga Feodalisme

Bertahun-tahun berupaya menghindar
dari realitas budaya Sunda.
Lekat, dekat, kental
dengan sistem feodalisme.
Lagi-lagi materialisme
merupakan segalanya.
Tali kekeluargaan bersifat semu.
Hanya sebatas materialisme.

Menak, Priyayi, Golongan Atas
sesuatu yang absurd bagiku.
Lalu dimana keadilan bagi keluarga tak berpunya?
Mereka tak dianggap keberadaannya.
Mereka terasingkan.
Mereka bagaikan penyakit menular
yang patut dihindari.
Lalu dimana makna kata "keluarga"?
Kata "keluarga" hanya bersifat semu.
Hanya sebatas materialisme.

Aku lelah dengan semua ini.
Tak dapat diubah realitas ini?
Telah mengakar hingga sulit untuk diubah.
Aku ingin menjadi "seorang Sunda"
tanpa feodalisme.


Bandung, 11 Oktober 2009

Senyuman Kecil

Sesuatu yang tak direncanakan
Mengalir apa adanya
Meski hati ini telah mati rasa

Kata-kata menghilang sulit diucapkan
Senyuman kecil ini menyadarkanku
Cukup sampai disini



Jatinangor, 9 Oktober 2009

Minggu, 04 Oktober 2009

Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam

Bismillahir rohmanir rohiim

Allah! Allah!
Napasmu menyentuh ujung jari-jari kakiku
yang menyembul dari selimut.
Aku membuka mata
dan aku tidak bangkit dari tidurku.
Aku masih mengembara
di dalam jiwa.

Burung-burung terbakar di langit
dan menggelepar di atas bumi.
Bunga-bunga apyun diterbangkan angin
jatuh di atas air
hanyut di kali, dibawa ke samodra,
disantap oleh kawanan hiu
yang lalu menggelepar
jumpalitan bersama gelombang.

Aku merindukan desaku
lima belas kilo dari Rangkasbitung.
Aku merindukan nasi merah,
ikan pepes, desir air menerpa batu,
bau khusus dari leher wanita desa,
suara doa di dalam kabut.

Musna. Musna. Musna.
Para turis motel dan perkebunan masuk desa.
Gadis-gadis desa lari ke kota
bekerja di panti pijat,
para lelaki lari ke kota menjadi gelandangan.
Dan akhirnya
digusur atau ditangkapi
disingkirkan dari kehidupan.
Rakyat kecil bagaikan tikus.
Dan para cukong
selalu siap membekali para penguasa
dengan semprotan antihama.
Musna. Musna. Musna.

Kini aku di sini. Di Rotterdam.
Menjelang subuh. Angin santer.
Jendela tidak terbuka,
tapi tirainya aku singkapkan.
Kaca basah. Musim gugur.
Aku mencium bau muntah.
Orang negro histeri ketakutan
dikejar teror orang kulit putih
di tanah leluhurnya sendiri
di Afrika Selatan.
Kekerasan. Kekuasaan. Kekerasan.
Dan lantaran ada tambang intan disana,
kekuatan adikuasa orang-orang kulit putih
juga termasuk yang demokrat,
memalingkan muka,
bergumam seperti orang bego,
dan mengulurkan tangan di bawah keja,
melakukan kerja sama dagang
dengan para penindas itu.
Dusta. Dusta. Dusta.
Ya Allah Yang Maharahman!
Tanganku mengambang di atas air
bersama sampah peradaban.

Apakah aku akan berenang melawan arus?
Langit nampak dari jendela,
Ada hujan bulu-bulu angsa.
Aku hilang di dalam kegagapan.
Ada trem lewat.
Trem? Buldoser? Panser?
Apakah aku akan menelepon Linde?
Atau Adrian?
Berapa lama akan sampai
kalau sekarang aku menulis surat
kepada Makoto Oda di Jepang?
Sia-sia. Musna. Dusta.

Rotterdam! Rotterdam!
Hiruk pikuk suara pasar di Jakarta.
Bau daging yang terbakar.
Biksu di Vietnam protes membakar diri.
Perang saudara di India yang abadi.
Aku termangu.
Apakah aku akan menyalakan lampu?
Terdengar lonceng berdentang.
Berapa kali tadi? Jam berapa sekarang?
Ayahku di Rangkasbitung selalu bertany:
Kapan kamu akan menikah?
Apakah kamu akan menikah dengan
perempuan Indonesia atau Belanda?
Kapan kamu akan memberiku seorang cucu?
Apakh lampu akan kunyalakan?
Di Rangkasbitung pasti musim hujan sudah datang.
Kenapa aku harus punya anak?
Kalau perang dunia ketiga meletus
nuklir digunakan,
angin bertiup,
hujan turun,
setiap mega menjadi ancaman.
Jadi anakku nanti harus mengalami semua ini?
Rambut rontok. Kulit terkelupas.
Ampas bencana tidak berdaya.
Ah, anakku, sekali kamu dilahirkan
tak mungkin kamu kembali mengungsi
ke dalam rahim ibumu!

Suara apakah itu?
Electronic music?
Jam berapa sekarang?
Apakah sudah terlambat untuk salat subuh?
Buku-buku kuliah di atas meja.
Tanganku menjamah kaca jendela.
Dan dari jauh datang mendekat:
wajahku.
Apakah yang sedang aku lakukan?
Ya Allah Yang Maharahman!
Tanganku mengambang di atas air
bersama sampah peradaban.
Apakah aku harus berenang melawan arus?
Astaga! Pertanyaan apa ini!

Apakah aku takut? Ataukah aku menghiba?
Apakah aku takut lalu menghiba?
Pertanyaan apa ini!
Ya Allah Yang Maharahman.
Aku akan menelepon Linde.
dan juga Adrian.
Aku akan menulis surat kepada Makoto Oda.
Tanganku mengepal di dalam air
tercemar smph peradban.
Tidak perlu aku meras malu
untuk bicara dengan imanku.

Allah Yang Maharahman,
imanku adalah pengalamanku.


Bojong Gede
6 Nopember 1990
(dari Orang-orang Rangkasbitung, 1993)

W.S. Rendra

Jumat, 02 Oktober 2009

Hari Batik - 2 Oktober

Adanya isu negara tetangga mengklaim beberapa seni dan budaya Indonesia, bangsa ini seolah kebakaran jenggot. Tiba-tiba menjadi naik pitam. Batik salah satu diantara yang akan diklaim oleh negara tetangga. Mungkin ini sebuah peringatan bagi bangsa ini agar mau menghargai warisan budaya yang amat berharga ini. Sebelum ada isu tersebut bangsa ini seolah tak peduli dengan keberadaan seni dan budaya sendiri. Bahkan terlampau memuja seni dan budaya negara lain. Terutama berkiblat ke budaya Barat. Sungguh menyedihkan. Bangsa ini seolah-olah kehilangan identitas bangsa sendiri.

Ada hikmah di balik setiap peristiwa. Ambil hikmah positif dari adanya peristiwa tersebut. Mari kita budayakan Batik di tengah maraknya arus globalisasi. Batik adalah Indonesia.

Indahnya suasana di kampus. Pagi-pagi disuguhi pemandangan Batik dimana-mana. Senangnya, ternyata mahasiswa saat ini sebagian besar sudah sadar akan identitas bangsanya sendiri. Sedikitnya mencoba mencintai budaya bangsa sendiri. Setidaknya, supaya mahasiswa "Malaysia" yang kuliah di Indonesia menjadi sadar. Batik milik Indonesia. Dari dulu sampai kapan pun. Selamanya.

Mampir ke kosan Yanti kurang lebih jam 12 siang. Disuguhi berita tentang musibah gempa Padang 7,6 SR dan tidak ketinggalan berita tentang Batik. Hari ini, tepatnya tanggal 2 Oktober di Jakarta semarak dengan masyarakatnya memakai Batik.
Mudah-mudahan ini bukan menjadi momentum sesaat. Akan dilakukan secara terus menerus. Sehingga bisa mengakar di kehidupan bangsa ini.

Berdo'a agar dunia mau mengakui keberadaan Batik sebagai milik Inddonesia. Agar tak ada satu pun negara lain yang berani mengklaim lagi. Semoga.