Minggu, 04 Oktober 2009

Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam

Bismillahir rohmanir rohiim

Allah! Allah!
Napasmu menyentuh ujung jari-jari kakiku
yang menyembul dari selimut.
Aku membuka mata
dan aku tidak bangkit dari tidurku.
Aku masih mengembara
di dalam jiwa.

Burung-burung terbakar di langit
dan menggelepar di atas bumi.
Bunga-bunga apyun diterbangkan angin
jatuh di atas air
hanyut di kali, dibawa ke samodra,
disantap oleh kawanan hiu
yang lalu menggelepar
jumpalitan bersama gelombang.

Aku merindukan desaku
lima belas kilo dari Rangkasbitung.
Aku merindukan nasi merah,
ikan pepes, desir air menerpa batu,
bau khusus dari leher wanita desa,
suara doa di dalam kabut.

Musna. Musna. Musna.
Para turis motel dan perkebunan masuk desa.
Gadis-gadis desa lari ke kota
bekerja di panti pijat,
para lelaki lari ke kota menjadi gelandangan.
Dan akhirnya
digusur atau ditangkapi
disingkirkan dari kehidupan.
Rakyat kecil bagaikan tikus.
Dan para cukong
selalu siap membekali para penguasa
dengan semprotan antihama.
Musna. Musna. Musna.

Kini aku di sini. Di Rotterdam.
Menjelang subuh. Angin santer.
Jendela tidak terbuka,
tapi tirainya aku singkapkan.
Kaca basah. Musim gugur.
Aku mencium bau muntah.
Orang negro histeri ketakutan
dikejar teror orang kulit putih
di tanah leluhurnya sendiri
di Afrika Selatan.
Kekerasan. Kekuasaan. Kekerasan.
Dan lantaran ada tambang intan disana,
kekuatan adikuasa orang-orang kulit putih
juga termasuk yang demokrat,
memalingkan muka,
bergumam seperti orang bego,
dan mengulurkan tangan di bawah keja,
melakukan kerja sama dagang
dengan para penindas itu.
Dusta. Dusta. Dusta.
Ya Allah Yang Maharahman!
Tanganku mengambang di atas air
bersama sampah peradaban.

Apakah aku akan berenang melawan arus?
Langit nampak dari jendela,
Ada hujan bulu-bulu angsa.
Aku hilang di dalam kegagapan.
Ada trem lewat.
Trem? Buldoser? Panser?
Apakah aku akan menelepon Linde?
Atau Adrian?
Berapa lama akan sampai
kalau sekarang aku menulis surat
kepada Makoto Oda di Jepang?
Sia-sia. Musna. Dusta.

Rotterdam! Rotterdam!
Hiruk pikuk suara pasar di Jakarta.
Bau daging yang terbakar.
Biksu di Vietnam protes membakar diri.
Perang saudara di India yang abadi.
Aku termangu.
Apakah aku akan menyalakan lampu?
Terdengar lonceng berdentang.
Berapa kali tadi? Jam berapa sekarang?
Ayahku di Rangkasbitung selalu bertany:
Kapan kamu akan menikah?
Apakah kamu akan menikah dengan
perempuan Indonesia atau Belanda?
Kapan kamu akan memberiku seorang cucu?
Apakh lampu akan kunyalakan?
Di Rangkasbitung pasti musim hujan sudah datang.
Kenapa aku harus punya anak?
Kalau perang dunia ketiga meletus
nuklir digunakan,
angin bertiup,
hujan turun,
setiap mega menjadi ancaman.
Jadi anakku nanti harus mengalami semua ini?
Rambut rontok. Kulit terkelupas.
Ampas bencana tidak berdaya.
Ah, anakku, sekali kamu dilahirkan
tak mungkin kamu kembali mengungsi
ke dalam rahim ibumu!

Suara apakah itu?
Electronic music?
Jam berapa sekarang?
Apakah sudah terlambat untuk salat subuh?
Buku-buku kuliah di atas meja.
Tanganku menjamah kaca jendela.
Dan dari jauh datang mendekat:
wajahku.
Apakah yang sedang aku lakukan?
Ya Allah Yang Maharahman!
Tanganku mengambang di atas air
bersama sampah peradaban.
Apakah aku harus berenang melawan arus?
Astaga! Pertanyaan apa ini!

Apakah aku takut? Ataukah aku menghiba?
Apakah aku takut lalu menghiba?
Pertanyaan apa ini!
Ya Allah Yang Maharahman.
Aku akan menelepon Linde.
dan juga Adrian.
Aku akan menulis surat kepada Makoto Oda.
Tanganku mengepal di dalam air
tercemar smph peradban.
Tidak perlu aku meras malu
untuk bicara dengan imanku.

Allah Yang Maharahman,
imanku adalah pengalamanku.


Bojong Gede
6 Nopember 1990
(dari Orang-orang Rangkasbitung, 1993)

W.S. Rendra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar