Jumat, 05 Februari 2010

Resensi Buku Sandiwara Perang dan Perang : Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang

Judul : Sandiwara Perang dan Perang : Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang
Penulis : Fandy Hutari
Penerbit : Ombak
Tebal : xxii + 146 halaman
Terbit : 2009



Sandiwara mengalami perubahan fungsi, dari sarana hiburan pada masa Hindia Belanda, berubah menjadi sarana propaganda yang efektif untuk mengindoktrinasi masyarakat terutama Jakarta. Hal ini terjadi secara "terang-terangan" pada masa pendudukan Jepang. Pada 5 Maret 1942 Jakarta jatuh ke tangan balatentara Jepang. Kemudian pada 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang atas seluruh Hindia Belanda, berdasarkan hasil perundingan di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Pasca penyerahan atas Hindia Belanda itu wilayah Jawa dan Madura diduduki oleh Tentara Angkatan Darat ke-16 (Rikugun), yang berpusat di Jakarta.

Cikal Bakal Sandiwara Modern Indonesia

Cikal bakal sandiwara modern Indonesia muncul pada dekade akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1891. Pelopornya adalah August Mahieu, seorang Indo-Perancis, yang mengadakan opera Barat dengan bahasa Melayu. August Mahieu membentuk suatu perkumpulan sandiwara bernama Komedi Stamboel di Surabaya. Komedi Stamboel mengadalkan pertunjukkan keliling Pulau Jawa dan secara keseluruhan pertunjukkan ini sukses, terutama di Jakarta. Sukses ini disebabkan karena komedi Stamboel dapat memenuhi selera publik Hindia Belanda, yang terdiri atas berbagai lapisan bangsa. Pada 1906, August Mahieu meninggal di Bumi Ayu (sebuah desa di Brebes selatan Jawa Tengah), tetapi hal ini tidak membuat hiburan seni panggung sejenis ikut mati.

Perkumpulan-perkumpulan sejenis banyak berdiri di berbagai kota besar di Indonesia, terutama di Jakarta. Perkumpulan-perkumpulan itu antara lain Komedi Opera stamboel, Opera Permata Stamboel, Indera Ratoe, Wilhelmina, Sinar Bintang Hindia, Indera Bangsawan. Sukses diraih oleh dua perkumpulan yang disebutkan terakhir, maka pada masa ini istilah Komedi Bangsawan juga dikenal masyarakat untuk menyebut jenis perkumpulan-perkumpulan sandiwara serupa.

Selain itu, di Jakarta juga muncul perkumpulan sandiwara Indo-Tionghoa pertama, yaitu Soei ban Lian yang didirikan pada 1911 oleh Teng Poei Nio. Jenis perkumpulan ini menyajikan cerita-cerita klasik Tionghoa.

Pada 1925, dimulai suatu pembaharuan oleh beberapa perkumpulan sandiwara yang baru berdiri maupun yang sudah mengadakan pertunjukkan di Jakarta. Perkumpulan-perkumpulan yang muncul pada tahun ini merombak beberapa traisi yang telah lazim pada zaman stambul, bangsawan atau opera. Perombakabn-perombakan tersebut menandai sejarah perkembangan naskah dan sandiwara Indonesia, yang menjadi satu pembenihan pertama sandiwara modern, dalam arti seperti yang dikenal sekarang.

Perkumpulan Sandiwara Miss Riboet Orion, yang dipimpin oleh Tio Tek Djien dan didirikan pada 1925 di jakarta, adalah salah satu pelopor erubahan dalam dunia sandiwara. Sebagaimana seni sandiwara Barat abad ke-19, pada masa ini berlaku sistem bintang serta pemimpin artis perkumpulan. Maka dimulailah masa sandiwara modern, yang telah mendekati perkembangan sandiwara modern di Barat.

Fasisme di Panggung Sandiwara

Jepang memilih sandiwara sebagai alat propaganda karena sadiwara dapat menggelorakan perasaan orang banyak. Untuk itu, sandiwara difokuskan pemerintah guna mendukung peperangan yang sedang dilakukan Jepang. Berbagai organisasi untuk menangani dan mengawasi kegiatan seni sandiwara, dibentuk pemerintah di Jakarta.

Awalnya Jepang berusaha memperbaiki kesenian andiwara dan membangkitkan kesenian ini terlebih dahulu, melalui organisasi yang dibentuk pada awal pendudukan. Tahun 1943 tema yang hadir adalah gagasan lingkungan bersama di Asia Timur Raya, pengerahan romusa, hiburan untuk prajurit-prajurit Jepang dan pengorbanan menyumbang pendapatan pertunjukkan untuk organisasi mliter Jepang. Dari tahun 1944 sampai tahun 1945 tema-tema propaganda lebih ditekankan pada masalah pembelaan tanah air, peningkatan produksi pertanian, pengerahan romusha, sumbangan pendapatan untuk perang, hiburan untuk prajurit-prajurit Jepang secara cuma-cuma, semangat perang dan janji kemerdekaan. Jakarta merupakan kota pusat pemerintahan Jepang di Jawa, sekaligus kota yang menjadi tempat pertumbuhan seni sandiwara tidak lepas dari propaganda pemerintah.

1 komentar: