Jumat, 09 April 2010

Pajak

Sekadar kembali mengingat sejarah yang terjadi di wilayah Timur Tengah. Terjadi perubahan besar pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kas negara sebagai milik penguasa dan keluarganya. Rakyat hanya wajib menyetor pajak kepadanya tanpa memiliki hak untuk mempertanyakan pemerintah atau membuat perhitungan dengannya. Cara hidup para raja dan para amir bahkan cara hidup para pejabat mereka dan komandan-komandan mereka pada masa itu, tidak memiliki ciri-ciri lain kecuali pemilikan yang sempurna dan mutlak atas baitul-maal.

Sampai-sampai Umar bin Abdul Aziz membuat suatu daftar amat panjang yang didalamnya disebutkan berbagai macam pajak tidak sah yang ia lihat sendiri, raja-raja Bani Umayyah memungutnya dari rakyat.

Pada masa ini mereka telah mendirikan istana-istana kerajaan untuk kediaman mereka yang dikelilingi oleh para pengawal dan intel khusus dan mereka juga memerintahkan para pengawal berjalan di depan rombongan kerajaan mereka. Para penjaga pintu menghalang-halangi antara mereka dan rakyat dan terputuslah hubungan rakyat dengan mereka secara langsung dan sejak itu rumah-rumah mereka serta segala kegiatan mereka tidak lagi ditengah-tengah rakyat. Dan menjadi mustahil bagi rakyat untuk pergi menyampaikan kebutuhan-kebutuhan mereka secara langsung tanpa perantara.

Padahal baitul-maal dalam konsep Islam merupakan amanat makhluk dan amanat Sang Khalik yang dipercayakan kepada pemerintahnya. Tidak seorang pun, siapaun ia, memiliki hak untuk mengelolanya sesuai dengan hawa nafsunya sendiri.

Ternyata peristiwa yang sama terjadi di negeri ini. Gonjang-ganjing mafia perpajakan mulai mencuat menjadi topik utama pembicaraan semua orang. Terbongkarnya kasus mafia perpajakan ini seolah menampar wajah pemerintah yang telah menayangkan dan mengkampanyekan iklan wajib pajak di tengah masyarakat. Istilah yang juga menjadi bahan gunjingan saat ini adalah "Nilep Pajak Wajib Pajak" (NPWP).

Ironisnya ketika roda perekonomian kian menghimpit rakyat kecil di seberang sana para pemilik kekuasaan dalam pemerintahan menikmati harta kekayaan dengan sewenang-wenang. Harta kekayaan yang sebenarnya bukan mutlak milik mereka. Harta kekayaan yang diperoleh dari memungut pajak dari rakyat. Berbicara tentang keadilan sudah menjadi hal absurd. Dapat dikatakan keadilan bukan lagi produk dunia.

Teringat tulisan Soe Hok Gie, berjudul Pelacuran Intelektual yang diterbitkan di Sinar Harapan, 21 April 1969. Ditulis oleh Gie, memberikan penilaian terhadap sikap seseorang bukanlah soal yang sederhana. Karena dunia bukanlah hitam dan putih. Setiap tindakan mempunyai motif-motif yang bersumber pada pandangan hidup seseorang. Di dalam masyarakat, kita melihat ada dua sistem penilaian yang secara teoretis berbeda seratus delapan puluh derajat. Pertama, adalah mereka yang mempergunakan sistem nilai-nilai absolut. Untuk orang-orang ini penilaian dari setiap tindakan didasarkan atas absolut. Untuk orang-orang ini penilaian dari setiap tindakan didasarkan atas pertanyaan - "Apakah ini benar atau salah?". Jika salah maka kita tidak boleh melakukannya. Korupsi salah dan karena itu harus digugat.

Tetapi ada kelompok lain yang tidak memakai sistem ini. Mereka mempergunakan sistem nilai-nilai relatif. Mereka sadar akan salah dan benar secara teoretis, tetapi mereka mempergunakan pertimbangan-pertimbangan realistis. Mereka lebih mementingkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih berguna di masa depan, jika mereka bertindak sesuatu pada saat sekarang. Mereka bersedia melakukan kompromi-kompromi, karena mereka tahu bahwa hasil-hasil yang mungkin dicapai lebih besar di masa depan.

Kedua sistem nilai ini diperlukan dalam masyarakat. Secara teoretis pandangan ini bertentangan, tetapi batasnya juga amat kabur. Kita hanya bisa berkata (secara intuisi) bahwa setiap situasi dan jabatan harus dinilai secara proporsional. Walaupun batas-batasnya tidak jelas, dasar daripada setiap tindakan ini hendaknya selalu dialasi motif-motif yang berdiri dibelakangnya. Batas yang jelas tidak ada dan penilaian terakhir diberikan oleh kata hati sendiri. Dan setiap orang yang mempergunakan nilai-nilai relatif ini hendaknya mempunyai suatu batas, dan jika batas tadi dilanggar, ia harus berani bertindak lain. Sebab ia akan terseret oleh arus, jika ia terlalu fleksibel.

Tulisan Gie diatas masih sangat relevan dipergunakan pada sekarang ini. Mengingat masyarakat masih membutuhkan sistem moral dalam kehidupan jika hukum sudah tak mampu berbicara. Mungkin hukum saat ini mempergunakan nilai-nilai relatif yang batasnya telah dilanggar dan akhirnya terseret oleh arus.