Minggu, 28 Februari 2010

tanpa judul (puisi Soe Hok Gie)

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah.
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza.

Tapi aku ingin habiskan waktuku disisimu, sayangku.
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu.
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi.

Tapi aku ingin mati disisimu, manisku.
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya.
Tentang tujuan hidup yang tak satupun setan yang tahu.

Mari sini sayangku.
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku.
Tegaklah ke langit luas atau awan mendung.
Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak kan pernah kehilangan apa-apa.



Selasa, 11 November 1969
-Soe Hok-gie

Kaki Mungil Menginjak Bumi

(Untuk Alif Keponakanku)

Kaki mungil kini
telah menginjakkan ke bumi.
Langkah demi langkah
diawali dengan latihan kecil.
Dijelajahinya ruang demi ruang.
Hari-harinya dilalui
dengan langkah-langkah kecil.
Mencoba mencari sosok yang tak pernah ada.

Waktu telah cepat berlalu,
semua tak seperti yang telah lalu.
Ibu kini tak selalu menemani hari-hari.
Terbuai oleh tuntutan duniawi
mencari materi demi sang buah hati.
Benarkah demikian?
Kasih sayang dari ibu tergadaikan
oleh tuntutan duniawi yang seolah tiada henti.

Satu demi satu kasih sayang dua sosok
dalam hidup perlahan memudar.
Sosok ayah yang tak dapat ditemukan kembali telah lama pergi,
bahkan untuk mengingatnya saja tak mampu.
Sosok ibu terancam memudar oleh tuntutan duniawi.
Apalah arti kehidupan ini?

Tubuh mungil ini tak pernah hilang semangat,
senyuman manis selalu merekah.
Langkah-langkah kecil tapi pasti.
Menatap alam semesta
dengan sepasang mata penuh harapan.
Adakah kebahagiaan di esok hari?

Sepasang suami-isteri berusia separuh abad
selalu membelai dengan kasih sayang.
Sampai mengira mereka adalah ayah dan ibu.
Kini siang dan malam berada
dalam pelukan hangat mereka.
Mensyukuri nikmat kehidupan
dalam kasih sayang mereka.





Bandung, 28 Februari 2010

Rabu, 24 Februari 2010

Estetika Tubuh Perempuan

Menurut Terry Eagleton, kritikus sastra Marxis dari Inggris, mengatakan bahwa estetika, bidang seni hidup dan keindahan, lahir sebagai wacana tubuh. Memang sejak akhir abad ke-20, terlebih setelah milenium baru ini, tubuh menjadi suatu bidang hidup yang semakin banyak diperhatikan dan didalami. Sebenarnya pembicaraan mengenai tubuh sudah ada sejak zaman Plato, yang masih merendahkannya dibanding dengan jiwa dan ide. Atau malah mungkin sudah dimulai sejak zaman lahirnya peradaban manusia.

Tubuh tidak hanya dipandang sebagai objek. Tubuh menunjukkan suatu situasi dan keberadaan konkret manusia. Tubuh adalah "kebertubuhan". Pandangan seperti ini mulai ditunjukkan oleh Michel de Montaigne pada abad ke-17. Baginya tubuh bukan hanya data terisolir dan karenanya sekali-kali ia tidak dapat disamakan dengan sebuah benda material.

Tiga kata yang terlebih dahulu harus dipahami: estetika, tubuh dan perempuan. Estetika adalah filosofi mengenai sifat dan persepsi tentang keindahan yang dialami si subjek terhadap karya seni baik itu objek kesenian alami maupun dari karya cipta manusia.

Keseluruhan jasad manusia dari ujung rambut sampai ujung kaki, itulah yang dinamakan tubuh. Namun, tubuh bekerja dengan bantuan roh, tanpa roh tubuh pelan-pelan akan musnah.

Dalam bahasa Indonesia, kata "perempuan" berasal dari kata "empu" yang merujuk pada gelar kehormatan "yang dituankan sebagai berkemampuan" atau orang yang ahli. Menyebut kata "perempuan" lebih menunjuk seseorang dalam konteks eksistensi dirinya daripada penyebutan wanita (sebutan bagi perempuan dewasa atau sebutan profesi). Perempuan diterjemahkan sebagai orang yang memiliki otoritas atas diri dan tubuhnya.

Estetika menilai tubuh perempuan sebagai karya seni alami; tubuh dilihat sebagai bagian keindahan dan perempuan anatomi-simbolik-semiotik-modal-otoritas-fotografi; perempuan mengalami otoritas tubuhnya sebagai sesuatu yang estetis.

Perempuan dan Teater

Kaitan perempuan dan teater sebagai hubungan simbiosis membantu kita memahami apa yang sesungguhnya dialami dan dirasakan perempuan yang menjadi korban ketimpangan dalam budaya patriarkal.

Jiwa yang muncul dalam cerita suatu pementasan teater memerlukan perantaraan tubuh agar dapat terbaca. Namun, tubuh juga dapat berbicara lewat medium teater. Perempuan dan teater bertemu pada suatu titik estetika . Itulah yang terjadi diatas pentas teater bertema perempuan. Dua bentuk keindahan yang menyublim dan memendarkan percik-percik rasa.

Teater dilihat sebagai media bagi perempuan untuk memutar kembali video kehidupannya dan menentukan sendiri adegan-adegan yang berbicara kebenaran.
Keindahan yang terdapat pada tubuh perempuan berbeda dengan keindahan yang terdapat pada tubuh laki-laki. Keindahan yang khas dari tubuh perempuan memuat cita rasa estetis yang unik. Seringkali apa yang dikenakan pada perempuan dikaitkan dengan keindahan. Sama halnya dengan teater yang merupakan bagian dari kesenian tidak mungkin lepas dari unsur estetika.

Perempuan dalam Iklan Sabun

Iklan sabun bergantung pada gagasan kebersihan dan ke-putih-an. Sabun adalah agen pembersihan barang dan juga pembersihan kulit, dan begitu gagasan mengenai kebersihan dikaitkan dengan gagasan alam atau kebudayaan, kelas dan ras, maka sabun menjadi agen pembersihan kultural, kelas dan rasial serta pada saat yang sama putih ditegaskan kembali sebagai yang disukai dan diinginkan.

Persetujuan secara penuh terhadap gagasan bahwa ras adalah konstruksi sosial sedemikian sehingga tubuh dikecualikan sebagai bagian dari konstruksi ras merupakan penyangkalan terhadap kenyataan bahwa tubuh sesungguhnya ber-ras. Perbedaan rasial ragawi yang paling ekstrem adalah antara tubuh orang ras kulit hitam (Negroid, keturunan Afrika) dan ras kulit putih (Kaukasian, keturunan Eropa). Ada juga tubuh yang berada diantara kedua ekstrem itu, misalnya tubuh yang tidak dapat didefinisikan sebagai putih atau hitam, atau tubuh yang posisinya berada diantara berbagai “ras”. Tubuh antara ini didefenisikan sebagai “ras campuran”.

Iklan sabun pada mulanya merupakan suatu kemewahan, sehingga dimaksudkan bagi orang-orang kelas menengah, tetapi bisa dijangkau oleh kelas bawah sejalan dengan berkembangnya teknologi pembuatan sabun lima puluh tahun terakhir abad 19. Sabun bermerek pertama muncul pada tahun 1884. Sejalan dengan pemberian merek, iklan sabun juga muncul dan terasialkan bersamaan dengan keterpesonaan terhadap putih dan ke-putih-an yang juga secara tidak terelakkan berkaitan dengan putih sebagai ras. Dengan demikian, iklan sabun juga menjadi agen rasisme, kolonialisme dan imperialisme.

Perempuan memiliki keindahan tubuh yang estetis menjadi perantara untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan dalam iklan sabun. Memiliki kulit putih menjadi pesan utama yang ingin disampaikan. Kulit putih seolah menjadi bagian penting dari estetika tubuh perempuan.

Runtuhnya Estetika Tubuh Perempuan

Tubuh perempuan dinilai indah secara anatomi, simbolik, modal atau otoritas, semiotika dan juga fotografi. Sejauh mana perempuan mengenal tubuhnya? Sudahkah semua keindahan itu disadari oleh perempuan? Apakah laki-laki juga dapat menghargai keindahan itu? Sudahkah tubuh-tubuh indah perempuan mendapat perlakuan indah dari si pemilik maupun laki-laki?

Angka kematian perempuan akibat kanker payudara terus meningkat. Tidak hanya itu, berbagai peristiwa perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga membuat perempuan menjerit. Ajaran agama seringkali dijadikan alasan untuk melegitimasi tindak kekerasan suami terhadap istri atau melakukan praktek poligami. Perkosaan bahkan dijadikan kambing hitam untuk alasan politik tertentu.

Keindahan tubuh perempuan telah rusak, dihancurkan oleh beberapa hal, diantaranya:
1). Kesalahpahaman dalam kebudayaan, dimana segala hal yang berkaitan dengan seksualitas dianggap tabu; 2). Persoalan medis, perempuan di seluruh dunia teranca penyakit kanker rahim dan payudara yang mematikan. Ini diluar kendali faktor manusia. 3). Estetika tubuh perempuan runtuh oleh laki-laki yang melakukan kekerasan, baik personal maupun massal.

Pemaknaan estetika tubuh semakin tidak jelas, apa yang diperjuangkan perempuan untuk tubuhnya dan apa yang diinginkan laki-laki terhadap perempuan? Pada dasarnya tubuh perempuan tidak hanya ditentukan oleh dirinya sendiri atau sesama perempuan, tetapi juga bagaimana laki-laki menilainya. Ada baiknya ditelaah lagi berbagai peristiwa yang terjadi pada tubuh perempuan.

Catatan : untuk menyambut Hari Perempuan Nasional, 8 Maret.

Rabu, 17 Februari 2010

Benda

Manusia kini hidup dalam ruangan yang dipenuhi benda
Benda-benda tak terhitung lagi menghimpit keberadaan manusia
Kini bukan benda menjadi barang asing
Kini manusia merupakan hal yang terasingkan

Fenomena manusia yang mengembara
Fenomena manusia tidak memiliki jati dirinya
Melayang-layang dalam ruang kerumunan industrialisasi
Dari satu tempat ke tempat lainnya

Manusia mudah teracuni oleh apa saja
Jati dirinya yang otentik menjadi terpendam
dan akhirnya lenyap





Bandung, 9 Februari 2010

Indahnya Hidup

Kata tersusun menjadi rangkaian kata
Rangkaian kata tak akan berakhir tanpa ada titik
Harapan berangsur-angsur menjadi mimpi
Mimpi tak akan berakhir tanpa ada kenyataan
Tubuh itu kosong
Tubuh tak akan merasakan kehidupan tanpa ada jiwa
Tanpa disadari titik, kenyataan dan jiwa itu adalah dirimu sendiri
Tak usah gundah
Tak usah gelisah
Nikmatilah indahnya hidup ini




Bandung, 5 Februari 2010

Lautan Ikhlas

Kosa kata di tempat aku berpijak tak terhitung lagi
Rangkaian kata menjadi ilmu
Ilmu yang terus dikejar sampai ke ujung dunia

Manusia hidup untuk menimba ilmu
Ilmu diharapkan untuk memenuhi jawaban
Aku tahu ilmu tak cukup memenuhi jawaban

Jika manusia tidak bisa memilih
Jadi untuk apa ada surga dan neraka?
Pertanyaan-pertanyaan besar selalu menghantui
Silih berganti memasuki pikiran

Satu hal saja
Sangat sederhana
Menyelami luasnya lautan ikhlas



Bandung, 4 Februari 2010

Minggu, 14 Februari 2010

Jumat, 05 Februari 2010

Resensi Buku Sandiwara Perang dan Perang : Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang

Judul : Sandiwara Perang dan Perang : Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang
Penulis : Fandy Hutari
Penerbit : Ombak
Tebal : xxii + 146 halaman
Terbit : 2009



Sandiwara mengalami perubahan fungsi, dari sarana hiburan pada masa Hindia Belanda, berubah menjadi sarana propaganda yang efektif untuk mengindoktrinasi masyarakat terutama Jakarta. Hal ini terjadi secara "terang-terangan" pada masa pendudukan Jepang. Pada 5 Maret 1942 Jakarta jatuh ke tangan balatentara Jepang. Kemudian pada 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang atas seluruh Hindia Belanda, berdasarkan hasil perundingan di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Pasca penyerahan atas Hindia Belanda itu wilayah Jawa dan Madura diduduki oleh Tentara Angkatan Darat ke-16 (Rikugun), yang berpusat di Jakarta.

Cikal Bakal Sandiwara Modern Indonesia

Cikal bakal sandiwara modern Indonesia muncul pada dekade akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1891. Pelopornya adalah August Mahieu, seorang Indo-Perancis, yang mengadakan opera Barat dengan bahasa Melayu. August Mahieu membentuk suatu perkumpulan sandiwara bernama Komedi Stamboel di Surabaya. Komedi Stamboel mengadalkan pertunjukkan keliling Pulau Jawa dan secara keseluruhan pertunjukkan ini sukses, terutama di Jakarta. Sukses ini disebabkan karena komedi Stamboel dapat memenuhi selera publik Hindia Belanda, yang terdiri atas berbagai lapisan bangsa. Pada 1906, August Mahieu meninggal di Bumi Ayu (sebuah desa di Brebes selatan Jawa Tengah), tetapi hal ini tidak membuat hiburan seni panggung sejenis ikut mati.

Perkumpulan-perkumpulan sejenis banyak berdiri di berbagai kota besar di Indonesia, terutama di Jakarta. Perkumpulan-perkumpulan itu antara lain Komedi Opera stamboel, Opera Permata Stamboel, Indera Ratoe, Wilhelmina, Sinar Bintang Hindia, Indera Bangsawan. Sukses diraih oleh dua perkumpulan yang disebutkan terakhir, maka pada masa ini istilah Komedi Bangsawan juga dikenal masyarakat untuk menyebut jenis perkumpulan-perkumpulan sandiwara serupa.

Selain itu, di Jakarta juga muncul perkumpulan sandiwara Indo-Tionghoa pertama, yaitu Soei ban Lian yang didirikan pada 1911 oleh Teng Poei Nio. Jenis perkumpulan ini menyajikan cerita-cerita klasik Tionghoa.

Pada 1925, dimulai suatu pembaharuan oleh beberapa perkumpulan sandiwara yang baru berdiri maupun yang sudah mengadakan pertunjukkan di Jakarta. Perkumpulan-perkumpulan yang muncul pada tahun ini merombak beberapa traisi yang telah lazim pada zaman stambul, bangsawan atau opera. Perombakabn-perombakan tersebut menandai sejarah perkembangan naskah dan sandiwara Indonesia, yang menjadi satu pembenihan pertama sandiwara modern, dalam arti seperti yang dikenal sekarang.

Perkumpulan Sandiwara Miss Riboet Orion, yang dipimpin oleh Tio Tek Djien dan didirikan pada 1925 di jakarta, adalah salah satu pelopor erubahan dalam dunia sandiwara. Sebagaimana seni sandiwara Barat abad ke-19, pada masa ini berlaku sistem bintang serta pemimpin artis perkumpulan. Maka dimulailah masa sandiwara modern, yang telah mendekati perkembangan sandiwara modern di Barat.

Fasisme di Panggung Sandiwara

Jepang memilih sandiwara sebagai alat propaganda karena sadiwara dapat menggelorakan perasaan orang banyak. Untuk itu, sandiwara difokuskan pemerintah guna mendukung peperangan yang sedang dilakukan Jepang. Berbagai organisasi untuk menangani dan mengawasi kegiatan seni sandiwara, dibentuk pemerintah di Jakarta.

Awalnya Jepang berusaha memperbaiki kesenian andiwara dan membangkitkan kesenian ini terlebih dahulu, melalui organisasi yang dibentuk pada awal pendudukan. Tahun 1943 tema yang hadir adalah gagasan lingkungan bersama di Asia Timur Raya, pengerahan romusa, hiburan untuk prajurit-prajurit Jepang dan pengorbanan menyumbang pendapatan pertunjukkan untuk organisasi mliter Jepang. Dari tahun 1944 sampai tahun 1945 tema-tema propaganda lebih ditekankan pada masalah pembelaan tanah air, peningkatan produksi pertanian, pengerahan romusha, sumbangan pendapatan untuk perang, hiburan untuk prajurit-prajurit Jepang secara cuma-cuma, semangat perang dan janji kemerdekaan. Jakarta merupakan kota pusat pemerintahan Jepang di Jawa, sekaligus kota yang menjadi tempat pertumbuhan seni sandiwara tidak lepas dari propaganda pemerintah.

Kamis, 04 Februari 2010

Mengapa Kembali Ke Kearifan Timur?

Judul : The Dance Of Change : Menemukan Kearifan Melalui Kisah-Kisah Kebijaksanaan
Timur
Penulis : Jusuf Sutanto
Penerbit : PT Kompas Media Nusantara
Tebal : xxx + 278 halaman
Terbit : Cetakan Pertama, Desember 2009
Cetakan Kedua, Januari 2010




Tugas pendidikan adalah memberdayakan manusia supaya bisa mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya dan jati dirinya di tengah alam semesta (to be). Dan jangan sampai di reduksi hanya hidup sekadar untuk mencari kesenangan dan memiliki harta, jabatan (to have).

Pintar, menurut konsep Barat diukur dan diberi nilai intelligence quotient (IQ) dan dibedakan dengan emotional quotient (EQ) yang keduanya berkaitan dengan bagian otak kiri dan kanan. Menurut pandangan Timur, pintar adalah 2 (two) in 1(one), merupakan proses terus menerus dalam mendengar, melihat dan menyimpan ke dalam hati yang dilakukan siang dan malam.

Ilmu pengetahuan juga digambar dengan menggabungkan antara "belajar" dan "bertanya". Jadi, ilmu pengetahuan adalah proses memahami apa saja, bukan suatu pengetahuan tentang spesialisasi tertentu seperti yang kita kenal.

Dua ratus tahun setelah ditemukan mesin uap (James Watt 1736-1819) dan listrik (Faraday) 1830), Thomas Alva Edison, 1847-1931, dunia dengan drastis mengalami penggundulan, penurunan keanekaragaman hayati, udara - air - tanah dicemari, pemanasan global dan perubahan iklim. Maka, kini manusia atas nama ilmu pengetahuan telah membakar dan merusak Bumi tempat tinggalnya sampai pada tingkat yang membahayakan keberlanjutannya.

Ilmu untuk membuat petasan telah diubah menjadi senjata, bahkan ada yang bisa menjadi pemusnah massal. Perang dan kekerasan yang tidak bisa menyelesaikan masalah bahkan dijadikan ajang untuk berdagang senjata.

Ilmu ekonomi yang diharapkan bisa memperbaiki kehidupan bersama melalui free-trade malah menjadi unfair-trade. Ilmu mengelola keuangan malah membuat krisis keuangan global.

Ideologi yang diharapkan memperbaiki kehidupan bersama akhirnya menjadi kendaraan untuk menampilkan egoisme pemimpinnya atau partai yang berkuasa atau negara adikuasa. Agama dan sistem kepercayaan yang diharapkan menjadi juru damai malahan menjadi sumber konflik yang berkepanjangan.

Teknologi informasi dipakai bukan untuk mempersatukan, tetapi menyebarkan hal-hal yang bersifat disintegratif bagi kehidupan bersama. Ironisnya semua ini terjadi dalam era luar biasa yang menunjukkan kreativitas manusia dalam melakukan inovasi teknologi seperti nano dan menjelajah angkasa luar.

Sudah saatnya manusia mengubah cara memandang dunia. Nafsu menaklukkan dan mengeksploitasi alam dan sesama manusia harus dikikis habis. Manusia harus berpikir dan bertindak selaras dengan tarian alam yang terus berubah.

Buku setebal 278 halaman ini ibarat oase di padang pasir. Mempertemukan ilmu pengetahuan dan kearifan dari orang bijak yang hidup di zaman dahulu. Dengan kata lain, membaca buku ini bisa mempertemukan akar kearifan masa lalu untuk membangun masyarakat modern.

Kembali Ke Alam semesta dan Tradisi Daerah

Hari Rabu, hari yang bersejarah buatku. Di hari ini tanpa terasa aku digiring oleh Sang Pencipta untuk kembali ke alam dan tradisi. Benar-benar tanpa direncanakan sebelumnya. Mengalir apa adanya. Pertama-tama kemarin sore hari Selasa, tetehku teh Iyang nelpon untuk kasih tau mau transfer buat aku dan keluarga, dari bulan kemarin mulai rutin lagi kasih uang bulanan buat aku. Terus tiba-tiba kasih tau tentang payung yang ga dikasihin sama pegawai Baraya Travel ke aku. Kejadiannya lumayan panjang, tepatnya pada tanggal 3 Januari 2010. Alhasil, teteh minta ganti rugi atas kerugian hilang payung ke pegawai Baraya Travel itu. Tau sendiri sifat tetehku itu keras kepala. Parahnya aku harus ikut2an minta tanggung jawab ke petugas itu. Besok sesuai perjanjian mau ganti pake uang aja soalnya payung udah hilang. Kasian pegawai itu sampe minta maaf berulang-ulang. Masa aku harus langsung ke Dago hari itu juga cuma buat ambil uang ganti rugi itu. Aku berpikir ga bisa hari ini.

Siang baru berangkat bareng mama. Ngambil uang transfer dari teh Iyang di ATM. Menuju Dago deh. Di Dago nunggu lama banget, untung ada Gampoeng Atjeh jadi bisa sambil makan disitu. Kasian mamah ga suka bumbu masakan Aceh, rada aneh katanya. Tapi mamah suka banget sama kopinya, favorit banget katanya. Baru jam 4 sore lebih mba Eka yang dititipin sama pegawai Baraya Travel itu baru muncul. Habis dari Baraya Travel Dago terus menuju Toko Buku Gramedia - Jl Merdeka, Bandung. Disana seperti biasa aku hunting buku-buku baru. Bulan ini belum baca buku. Bener-bener haus ilmu, hihi..:P
Ga disangka-sangka aku terpesona sama buku yang berjudul "The Dance Of Change : Menemukan Kearifan Melalui Kisah-Kisah Kebijaksanaan Timur" - Jusuf Sutanto. Dari pertama baca isinya udah jatuh hati. Beruntung ada satu buku yang udah terbuka plastiknya. Isinya bagus banget. Bener-bener bagus, bener-bener arif dan bijaksana banget. Tapi sebentar muter2 cari2 buku yang lain. Lumayan lama juga eh.. balik lagi ke buku itu. Alhasil beli buku itu deh. Ada lagi selain itu buku "Geliat Bahasa Selaras Zaman", isinya juga bagus dan unik aja. Belum baca sampai jauh banget. Yang jelas hari ini beli dua buku itu.

Dari Gramedia naik angkot Kalapa-Ledeng. Ngga disangka-sangka ketemu pak Lucky (dosen di kampus). Aduh kaget juga. Tapi biasa aja aku menyapanya. Turun di jalan Lengkong Besar. Biasa nganterin mamah beli Boloe Kodja yang udah di incer mamah jauh2 hari. Tempatnya bener-bener klasik banget. Bener-bener zaman dulu banget deh. Udah gitu mampir di pasar Kordon, belanja dulu. Trus mampir ke rumah Bi Tia di Pasir Pogor buat beli bolu tape (resep dari zaman dulu kan?). Ngobrol2 di Bi Tia bener2 dapet inspirasi. Kata2 Bi Tia yang terngiang2 terus, "ayeuna mah teu usum cari2 kasalahan batur, ayeuna mah usum na gawe". Trus kata2 Mang Nanang "saprak aya perdagangan bebas Cina ASEAN usaha ayeuna teh rada sesah janten kedah kreatif, pan ieu teh menggali potensi daerah, teu aya salah na ngangkat potensi sunda". Setuju banget.

Dari rumah Bi Tia mampir ke Apotek dulu. Trus pulang deh. Lumayan malem juga soalnya nunggu lumayan lama sampe hujan mulai rada reda. Soalnya ga bawa payung.

Dipikir2 hari ini aku bener2 ditarik untuk sadar diri akan alam sekitar dan tradisi daerah sendiri. Makasih Allah swt telah memberi pelajaran berharga untuk hari ini.


Bandung, 3 Februari 2010 (dari kurang lebih jam 1 siang sampe jam 11 malem).