Senin, 23 Agustus 2010

Dua Anugerah Dalam Satu Waktu

Simpan saja kata-kata semu
Simpan saja janji-janji semu
Simpan senjata
Simpan amarah
Simpan semua itu namun tetap waspada

Lidah ini lelah berucap
Air liur hampir mengering
Bosan dengan penat
Tetap pada harapan

Bersyukur pada-Nya
Masih bisa merasakan yang pejuang rasakan
Hari Kemerdekaan di bulan Ramadhan
Dua anugerah dalam satu waktu
Merdeka!



Arlin Widya Safitri
Bandung, 17 Agustus 2010

Nikmatnya Ramadhan

Memasuki Ramadhan
Alam begitu riang gembira
Pepohonan menari ke kiri dan ke kanan
Mengikuti hembusan angin yang sepoi-sepoi
Bunga-bunga menyebarkan wewangian ke segala penjuru
Burung-burung tak henti-hentinya bernyanyi dengan kicauan merdu
Langit cerah berwarna biru
Matahari bersinar ke seluruh penjuru
Awan putih menandakan kesucian hati
Ombak di lautan berlaril-lari

Memasuki Ramadhan
Manusia merasakan nikmatnya hidangan lezat dari-Nya
Nikmatnya kebersamaan
Nikmatnya melafalkan ayat suci Al-Qur’an
Nikmatnya berpuasa
Nikmatnya bersedekah
Nikmatnya shalat malam
Nikmatnya berzakat

Memasuki Ramadhan
Semua berlomba mengharap ridho dan ampunan-Nya
Indahnya Ramadhan
Bulan penuh ampunan
Bulan penuh berkah


Arlin Widya Safitri
Bandung, 15 Agustus 2010

Menjelang Ramadhan

Masa hidupku di dunia ini terus berkurang
Perih, sakit, luka kadang memasuki hati dan pikiran
Badai-badai kehidupan terus menghujani
Hanya keyakinan mampu mengobati

Berlari-lari mencari sesuatu pertolongan
Karib kerabat tak lagi bersahabat
Prasangka demi prasangka menghujat
Tak ada yang mengetahui niat baik dalam hati

Ya Allah SWT, hanya Engkau Yang Maha Mengetahui
Bantulah hamba-Mu ini bangkit
Untuk menanamkan niat baik dalam hati ini
Agar tumbuh subur dan bersinar

“Pancaran sinar dari dalam hati ini
sebagai jawaban atas prasangka yang ada”
Ku bersimpuh di hadapan-Mu mengharapkan kedatangan bulan Ramadhan
Bulan penuh berkah
Aku berserah diri pada-Mu

Arlin Widya Safitri
Bandung, 10 Agustus 2010

Pasar Di Hari Minggu

Beratapkan langit. Dikala hujan, basahlah. Dikala panas terik, berkeringatlah. Dikala angin berhembus, sejuklah.
Hiruk pikuk. Berjejalan. Tak jadi masalah. Hati terpuaskan. Mata terhibur oleh pemandangan. Tubuh segar karena berjalan kaki dengan hilir mudik. Beragam tujuan menuju pasar.
Laki – laki, perempuan. Tua, muda. Pemuda-pemudi. Anak-anak. Bergerombol. Berpasang-pasangan. Menikmati hiburan yang hanya datang seminggu sekali.
Pedagang-pedagang yang tengah menanti. Ada yang duduk manis. Ada yang berdiri sambil berteriak menawarkan barang dagangannya. Berkeringat terkena sinar matahari.
Makanan, minuman, pakaian, peralatan rumah tangga dijajakan disini. Harga sangat murah menanti. Menarik perhatian pengunjung.
Petugas keamanan berdiam diri di depan pintu masuk. Tangan-tangan usil leluasa beraksi. Pengunjung hilir mudik menjadi mangsa. Tak ada yang peduli. Mungkin ini mata pencahariannya dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Tak heran hukum rimba berlaku di sini.
Jalanan di luar begitu padat. Disesaki oleh pengunjung dan kendaraan yang hilir mudik. Kemacetan sudah rutinitas.
Entah apa yang membuat hal ini menjadi biasa. Semua seperti dalam suatu penaklukkan. Tak disadari semua ditaklukkan oleh uang. Uang adalah penguasa peradaban saat ini. Ah, siapa peduli!






Arlin Widya Safitri
Bandung, 03 Agustus 2010