Kamis, 04 Februari 2010

Mengapa Kembali Ke Kearifan Timur?

Judul : The Dance Of Change : Menemukan Kearifan Melalui Kisah-Kisah Kebijaksanaan
Timur
Penulis : Jusuf Sutanto
Penerbit : PT Kompas Media Nusantara
Tebal : xxx + 278 halaman
Terbit : Cetakan Pertama, Desember 2009
Cetakan Kedua, Januari 2010




Tugas pendidikan adalah memberdayakan manusia supaya bisa mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya dan jati dirinya di tengah alam semesta (to be). Dan jangan sampai di reduksi hanya hidup sekadar untuk mencari kesenangan dan memiliki harta, jabatan (to have).

Pintar, menurut konsep Barat diukur dan diberi nilai intelligence quotient (IQ) dan dibedakan dengan emotional quotient (EQ) yang keduanya berkaitan dengan bagian otak kiri dan kanan. Menurut pandangan Timur, pintar adalah 2 (two) in 1(one), merupakan proses terus menerus dalam mendengar, melihat dan menyimpan ke dalam hati yang dilakukan siang dan malam.

Ilmu pengetahuan juga digambar dengan menggabungkan antara "belajar" dan "bertanya". Jadi, ilmu pengetahuan adalah proses memahami apa saja, bukan suatu pengetahuan tentang spesialisasi tertentu seperti yang kita kenal.

Dua ratus tahun setelah ditemukan mesin uap (James Watt 1736-1819) dan listrik (Faraday) 1830), Thomas Alva Edison, 1847-1931, dunia dengan drastis mengalami penggundulan, penurunan keanekaragaman hayati, udara - air - tanah dicemari, pemanasan global dan perubahan iklim. Maka, kini manusia atas nama ilmu pengetahuan telah membakar dan merusak Bumi tempat tinggalnya sampai pada tingkat yang membahayakan keberlanjutannya.

Ilmu untuk membuat petasan telah diubah menjadi senjata, bahkan ada yang bisa menjadi pemusnah massal. Perang dan kekerasan yang tidak bisa menyelesaikan masalah bahkan dijadikan ajang untuk berdagang senjata.

Ilmu ekonomi yang diharapkan bisa memperbaiki kehidupan bersama melalui free-trade malah menjadi unfair-trade. Ilmu mengelola keuangan malah membuat krisis keuangan global.

Ideologi yang diharapkan memperbaiki kehidupan bersama akhirnya menjadi kendaraan untuk menampilkan egoisme pemimpinnya atau partai yang berkuasa atau negara adikuasa. Agama dan sistem kepercayaan yang diharapkan menjadi juru damai malahan menjadi sumber konflik yang berkepanjangan.

Teknologi informasi dipakai bukan untuk mempersatukan, tetapi menyebarkan hal-hal yang bersifat disintegratif bagi kehidupan bersama. Ironisnya semua ini terjadi dalam era luar biasa yang menunjukkan kreativitas manusia dalam melakukan inovasi teknologi seperti nano dan menjelajah angkasa luar.

Sudah saatnya manusia mengubah cara memandang dunia. Nafsu menaklukkan dan mengeksploitasi alam dan sesama manusia harus dikikis habis. Manusia harus berpikir dan bertindak selaras dengan tarian alam yang terus berubah.

Buku setebal 278 halaman ini ibarat oase di padang pasir. Mempertemukan ilmu pengetahuan dan kearifan dari orang bijak yang hidup di zaman dahulu. Dengan kata lain, membaca buku ini bisa mempertemukan akar kearifan masa lalu untuk membangun masyarakat modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar